Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari
عَنْ
أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ
الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ
أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ
رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ
إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ
فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Dari
Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah)
Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1)
supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2)
beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di
bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau
memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku
kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ
walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran
meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang
yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku
agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan
oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no.
2166).
FIQIH HADITS (1) : MENCINTAI ORANG-ORANG MISKIN DAN DEKAT DENGAN MEREKA
Wasiat
yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar
ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam
hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar
agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai
ummat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada kita semua.
Orang-orang
miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan,
tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak
mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ
بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ
اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ. قَالُوْا :
فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لاَ يَجِدُ غِنًى
يُغْنِيْهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلاَ يَسْأَلُ
النَّاسَ شَيْئًا.
"Orang miskin itu bukanlah mereka yang
berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan
dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya
Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau
menjawab,"Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia
tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat),
dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”[1]
Islam
menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin,
duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.
Ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumpul bersama orang-orang
miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka enggan duduk bersama
dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir
orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka masuklah
dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi
dengan kehendak Allah Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
وَلَا تَطْرُدِ
الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ
وَجْهَهُ ۖ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ
عَلَيْهِم مِّن شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِي
"Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang
menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk
orang-orang yang zalim).". [al-An’âm/6:52].[2]
Mencintai
orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan
menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada
kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan
oleh Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari
Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ
عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ...
"Barangsiapa
menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan
menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa
yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan
memudahkan atasnya di dunia dan akhirat… " [3]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
السَّاعِى
عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
–وَأَحْسِبُهُ قَالَ-: وَكَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَ
يُفْطِرُ.
"Orang yang membiayai kehidupan para janda dan
orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya
(perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa
merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”.[4]
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berkumpul bersama orang-orang
miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar dihidupkan dengan
tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan kata "miskin".
اَللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ.
"Ya
Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam
keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang
miskin".[5]
Ini adalah doa dari beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam agar Allah Ta’ala memberikan sifat tawadhu` dan rendah hati,
serta agar tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim maupun
orang-orang kaya yang melampaui batas. Makna hadits ini bukanlah meminta
agar beliau menjadi orang miskin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu
Atsir rahimahullah, bahwa kata "miskin" dalam hadits di atas adalah
tawadhu [6]. Sebab, di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berlindung dari kefakiran.[7]
Beliau berdoa
seperti ini, karena beliau mengetahui bahwa orang-orang miskin akan
memasuki surga lebih dahulu daripada orang-orang kaya. Tenggang waktu
antara masuknya orang-orang miskin ke dalam surga sebelum orang kaya
dari kalangan kaum Muslimin adalah setengah hari, yaitu lima ratus
tahun.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُ مِائَةِ عَامٍ.
"Orang-orang
faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari
kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun".
[8]
Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang
taat kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik,
menjalankan Sunnah dan menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan
perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sebab
terlambatnya orang-orang kaya memasuki surga selama lima ratus tahun,
adalah karena semua harta mereka akan dihitung dan dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah Ta’ala.
Dalam hadits yang lain Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a agar mencintai orang-orang miskin.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ
الْمَسَاكِيْنِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ وَتَرْحَمَنِيْ، وَإِذََا أَرَدْتَ
فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِيْ غََيْرَ مَفْتُوْنٍ، وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ،
وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ إِلَى حُبِّكَ.
"Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan
perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang
miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak
menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah
aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu
rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu,
dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk
mencintai-Mu". [9]
Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin
dan lemah, kita akan memperoleh rezeki dan pertolongan dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ.
"Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian".[10]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ.
"Sesungguhnya
Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di
antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka".[11]
FIQIH HADITS (2) : MELIHAT KEPADA ORANG YANG LEBIH RENDAH KEDUDUKANNYA DALAM HAL MATERI DAN PENGHIDUPAN
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang
yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata
pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang
telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ
وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ
تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.
"Lihatlah kepada orang
yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu,
karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat
Allah yang telah diberikan kepadamu" [12].
Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam melarang seorang Muslim melihat kepada orang yang di
atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya, banyak harta,
kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan yang mewah, rumah mewah,
dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang kita melihat kepada
orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini merupakan kesalahan yang
fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya, terkadang seseorang hidup
bersama keluarganya dengan "mengontrak rumah", maka dengan keadaannya
ini hendaklah ia bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak
memiliki tempat tinggal dan tidur beratapkan langit. Begitu pun dalam
masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya mendapat nafkah yang
hanya cukup untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja, maka dalam
keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang
yang tidak memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari
menggantungkan harapannya kepada orang lain.
Sedangkan dalam
masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah, meraih pahala dan
surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di
atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan
orang-orang yang shalih. Apabila para salafush-shalih sangat bersemangat
dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca Al-Qur`ân, dan
perbuatan baik lainnya, maka kita pun harus berusaha melakukannya
seperti mereka. Dan inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Tabarâka wa Ta’ala berfirman:
وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
"Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba". [al-Muthaffifîn/83:26].
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang
yang berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita menjadi
orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Yaitu merasa cukup dengan apa
yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak hasad dan tidak iri
kepada manusia.
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan
untuk hari yang sedang ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar
baginya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyinggung hal
ini dalam sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ،
مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ، وَعِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا
حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا.
"Siapa saja di antara
kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan pada
badannya, dan ia memiliki makanan untuk harinya itu, maka seolah-olah ia
telah memiliki dunia seluruhnya".[13]
Abu Dzar Radhiyallahu
'anhu adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk hari
yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok harinya beliau mencarinya
lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam
kehidupannya. Mudah-mudahan Allah meridhai beliau.
FIQIH HADITS (3) : MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB KERABAT BERLAKU KASAR
Imam
Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam
Ibnul-Atsir rahimahullah berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai
perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena
perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka,
memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat.
Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.” [14]
Dari
pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada orang-orang
yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua,
kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang memiliki
hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum Muslimin salah
dalam menggunakan kata silaturahmi. Mereka menggunakannya untuk hubungan
mereka dengan rekan-rekan dan kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi
hanyalah terbatas pada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan
dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada
hanyalah ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam).
Silaturahmi
yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang yang telah
berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki adalah
menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat
baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
"Orang
yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan,
tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung
kekerabatannya apabila diputus".[15]
Imam al-‘Allamah ar-Raghib
al-Asfahani rahimahullah menyatakan bahwa rahim berasal dari kata rahmah
yang berarti lembut, yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang
yang disayangi.[16]
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah.
Rahim (kekerabatan), Allah letakkan di ‘Arsy. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ.
"Rahim
(kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,"Siapa yang
menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku,
Allah akan memutuskannya".[17]
Menyambung silaturahmi dan berbuat
baik kepada orang tua adalah wajib berdasarkan dalil-dalil dari
Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus silaturahmi dan durhaka
kepada orang tua adalah haram dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ
يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا
أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ أُولَٰئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ
"(yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi."
[al-Baqarah/2:27]
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu
Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Pada ayat di atas, Allah
menganjurkan hamba-Nya agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang
memiliki hubungan rahim, serta tidak memutuskannya”.[18]
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan antara menyambung silaturahmi
dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi" [19].
Dengan
bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan umur
kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah akan
sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.
Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.
"Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi". [20]
Bersilaturahmi
dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib kerabat, menanyakan
kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka yang miskin,
menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang lebih muda
dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan cara
datang langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat
telepon ataupun short massage service (sms). Bisa juga dilakukan dengan
meminta mereka untuk bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita,
memuliakannya, ikut senang bila mereka senang dan ikut sedih bila mereka
sedih, mendoakan mereka dengan kebaikan, tidak hasad (dengki)
terhadapnya, mendamaikannya bila berselisih, dan bersemangat untuk
mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan menjenguknya
bila sakit, memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah
bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan
Sunnah, serta menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka
melakukan dosa dan maksiat.
Hubungan baik ini harus terus
berlangsung dan dijaga kepada karib kerabat yang baik dan istiqamah di
atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat yang kafir atau fasik atau
pelaku bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan mereka dapat melalui
nasihat dan memberikan peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh
dalam melakukannya.[21]
Silaturahmi yang paling utama adalah
silaturahmi kepada kedua orang tua. Orang tua adalah kerabat yang paling
dekat, yang memiliki jasa yang sangat besar, mereka memberikan kasih
dan sayangnya sepanjang hidup mereka. Maka tidak aneh jika hak-hak
mereka memiliki tingkat yang besar setelah beribadah kepada Allah. Di
dalam Al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita agar
berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul-walidain adalah berbuat
baik kepada kedua orang tua, baik berupa bantuan materi, doa, kunjungan,
perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat keduanya masih
hidup maupun setelah keduanya meninggal dunia. Birrul-walidain adalah
perbuatan baik yang paling baik.
Diriwayatkan dari Sahabat
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَيُّ الْعَمَلِ
أَفْضَلُ؟ قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟
قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ :
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ.
“Amal apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan
shalat di awal waktunya).” Aku bertanya,"Kemudian apa?” Beliau
menjawab,"Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya,"Kemudian apa?”
Beliau menjawab,"Jihad di jalan Allah.” [22]
Selain itu, Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berbuat durhaka kepada kedua orang
tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang paling
besar.
Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, diantaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan
umur kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bersabda:
مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى
أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ"Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya
dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi"
[23].
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah,
menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai
kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak
mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu
amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari
neraka,” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi" [24].
FIQIH
HADITS (4) : MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH
(TIDAK ADA DAYA DAN UPAYA KECUALI DENGAN PERTOLONGAN ALLAH)
Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?
Jawabannya,
agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu
untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada Allah.
Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah
Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali melakukan
shalat,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan". [al-Fâtihah/1:5].
Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam akhir shalat kita:
اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
"Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu" [25].
Pada
hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di
majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan
mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan
pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat
bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.
Seorang hamba tidak
boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk melakukan segala
sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala apa yang
dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah. Sebab, jika Allah
tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala sesuatu. Artinya,
dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan
kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan bahwa ia adalah
orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.
FIQIH HADITS (5) : BERANI MENGATAKAN KEBENARAN MESKIPUN PAHIT
Pahitnya
kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada
orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai
sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita
mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan
tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan
ma’ruf.
Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan
syirik namun banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah
permasalahan yang masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas
mengatakan kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan
perbuatan yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan
penjelasan para ulama tentang keharamannya.
Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa.
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
"Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim". [26]
Yaitu
dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang baik.
Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang
yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi, provokasi,
demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui mimbar,
mimbar Jum’at, dan yang lainnya.
Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (ulil amri). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً
وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
"Barangsiapa yang
ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan
terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri
dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang
terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka
sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan
kepadanya"[27].
FIQIH HADITS (6) : TIDAK TAKUT CELAAN PARA PENCELA DALAM BERDAKWAH DI JALAN ALLAH
Dalam
berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak, mencela,
dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang
disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka mencela,
maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang haq dengan
ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Di antara akhlak yang mulia,
adalah berani dalam menyampaikan kebenaran, dan ini merupakan akhlak
Salafush-Shalih. Islam mencela sifat penakut. Hal ini dapat tercermin
dari perintah untuk maju ke medan perang dan tidak boleh mundur pada
saat telah berhadapan dengan musuh. Disamping itu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari sifat
pengecut. Beliau berdoa dalam haditsnya:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى
أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَأَعُوْذُ
بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ.
"Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari
sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang
paling hina (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan
aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur".[28]
Dakwah yang
diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan Sunnah) harus
diperjuangkan oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para dai yang
menyeru kepadanya tidak boleh merasa takut. Kepada para dai yang menyeru
kepada dakwah yang haq ini, jangan merasa takut apabila mendapat
celaan, cobaan, penolakan, dan pertentangan. Jangan sekali-kali mundur
dalam menegakkan kebenaran dan tidak mau lagi berdakwah. Dakwah mengajak
manusia kepada tauhid dan Sunnah harus terus berjalan meskipun orang
mencela, mencomooh, dan menolaknya.
Seorang dai tidak boleh
mundur dalam berdakwah di jalan Allah dan tidak boleh takut, karena
Allah yang akan menolong orang-orang yang berada di atas manhaj yang
haq.
Dalam Al-Qur`ân, Allah Ta’ala menyebutkan tentang
orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, sedangkan mereka tidak
takut. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
"(Yaitu)
orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut
kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah.
Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan". [al-Ahzaab/33:39].
Dan di antara ciri hamba yang dicintai Allah, adalah mereka tidak takut celaan para pencela. Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ
يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ
يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Wahai
orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum,
Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah
lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang
diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas
(pemberian-Nya), Mahamengetahui.” [al-Mâidah/5:54].
FIQIH HADITS (7) : TIDAK MEMINTA-MINTA SESUATU KEPADA ORANG LAIN
Orang
yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak
meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki
orang lain. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya
agar tidak meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta hukum
asalnya adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan hasil
keringatnya sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan
belas kasihan orang lain. Seorang Muslim harus berusaha sendiri untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, karena Allah yang akan menolongnya.
Masyarakat
yang masih awam (minim dalam ilmu agama), mereka berusaha untuk
menghidupi keluarga mereka dengan berjualan, baik di pinggir-pinggir
jalan maupun di kendaraan umum, seperti bus dan kereta api. Yang
demikian itu lebih mulia daripada dia meminta-minta kepada manusia.
Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu, agar mereka
pun berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan keringat mereka
sendiri, dan tidak bergantung kepada orang lain.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َلأَنْ
يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِخُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى
ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
"Sungguh,
seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar
di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah
menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta
kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak memberinya".[29]
Meminta-minta
merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan hukum asalnya adalah
haram, kecuali untuk maslahat kaum Muslimin karena termasuk
tolong-menolong dalam kebaikan, seperti untuk pembangunan masjid, pondok
pesantren, biaya hidup anak yatim, dan yang sepertinya. Ini pun harus
dengan cara yang baik, yaitu dengan mendatangi orang-orang yang kaya dan
mampu atau diumumkan di masjid, bukan dengan cara meminta-minta di
pinggir jalan. Sebab, perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, serta
merusak nama baik Islam dan kaum Muslimin. Adapun meminta-minta untuk
kepentingan pribadi, maka hukumnya haram dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: Rasulullah bersabda:
يَا
قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ:
رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَلَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى
يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ. وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ
مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ
عَيْشٍ (أَوْ قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ). وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ
حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ
أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ. فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ (أَوْ قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ) فَمَا سِوَاهُنَّ
مَنَ الْمَسْأَلَةِ، يَا قَبِيْصَةُ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا
سُحْتًا.
"Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak
dihalalkan kecuali bagi salah seorang dari tiga macam: (a) seseorang
yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia
melunasinya, kemudian ia berhenti (tidak meminta-minta lagi), (b)
seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh
meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (c) orang yang
ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari
kaumnya mengatakan "Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan," ia boleh
meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain
tiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya
adalah memakan yang haram".[30]
Bahkan orang yang selalu
meminta-minta, kelak pada hari Kiamat tidak ada daging sedikit pun pada
wajahnya, sebagaimana ia tidak malu untuk meminta-minta kepada manusia
di dunia. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
"Seseorang
senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan datang pada
hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya".[31]
Maksudnya
bahwa pada hari Kiamat ia akan dikumpulkan di hadapan Allah dalam
keadaan wajahnya hanya tulang (tengkorak) saja, tidak ada daging
padanya. Hal itu sebagai hukuman baginya, dan sebagai tanda dosa baginya
ketika di dunia ia selalu minta-minta dengan wajahnya tanpa malu.[32]
PENUTUP
Mudah-mudahan
tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat
Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat
beliau.
Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Artikel: http://almanhaj.or.id/ pada bab hadits
________
Footnotes
[1].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud
(no. 1631), dan an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr Ibni Katsir (III/90).
[3].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252,
325), Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no.
225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan Muslim (no. 2982), dari Sahabat
Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin Humaid dalam
al-Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 308) dan Irwâ`ul Ghalîl (no. 861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir rahimahullah .
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8].
Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353, 2354) dan
Ibnu Majah (no. 4122), dari Abu Hurairah rahimahullah. Lihat Shahîh
Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1919).
[9]. Hadits shahîh.
Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya, at-Tirmidzi (no.
3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi.
At-Tirmidzi berkata,"Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il
–yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits ini hasan shahîh’.”
Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu. Di akhir hadits,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهَا حَقٌّ، فَادْرُسُوْهَا وَتَعَلَّمُوْهَا.
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari (hafalkan), dan perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu.
[11].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab
bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no.
2978).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490),
Muslim (no. 2963), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142),
dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[13]. Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu Majah (no. 4141), dan
al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan selainnya. Dari
‘Ubaidullah bin Mihshan Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 2318).
[14]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[15].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no.
1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr
Radhiyallahu 'anhu
[16]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[17].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no.
2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. Lafazh ini milik Muslim.
[18]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[20].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no.
2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
[21]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[22].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85),
an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439,
451).
[23]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557 (21)).
[24]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
[25].
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i
(III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau
menshahîhkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[26]. Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah (no. 4012),
ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam
Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat Abu Umamah
Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 490).
[27].
Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab:
Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098),
Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm
Radhiyallahu 'anhu.
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2822, 6365, 6370, 6390) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[29]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari Sahabat az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu 'anhu
[30]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1044), Abu Dawud (no. 1640), Ibnu Khuzaimah (no. 2361), dan selain mereka.
[31].
Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan Muslim (no.
1040), dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma. Lafazh ini milik
Muslim.
[32]. Lihat Syarah Shahîh Muslim (VII/130) oleh Imam an-Nawawi rahimahullah.
Marâji’:
1. Al-Qur`ânul-Karim dan terjemahannya, terbitan Departemen Agama.
2. al-Adabul-Mufrad.
3. Al-Mu’jamul-Kabîr.
4. An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts.
5. As-Sunanul-Kubra.
6. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
7. Al-Washâya al-Mimbariyyah, karya ‘Abdul-‘Azhim bin Badawi al-Khalafi.
8. Hilyatul Auliyâ`.
9. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhriji Ahâdîtsi Manâris Sabîl.
10. Lisânul-‘Arab.
11. Mawâridizh Zhamm`ân.
12. Mufrâdât Alfâzhil-Qur`ân.
13. Musnad ‘Abd bin Humaid.
14. Musnad al-Humaidi.
15. Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaini. Karya Imam al-Hakim an-Naisaburi.
16. Musnad Imam Ahmad.
17. Qathî`atur Rahim; al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul ‘Ilâj, oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd.
18. Shahîh al-Bukhari.
19. Shahîh Ibni Hibban.
20. Shahîh Ibni Khuzaimah.
21. Shahîh Muslim.
22. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
23. Sunan Abu Dawud.
24. Sunan an-Nasâ`i.
25. Sunan at-Tirmidzi.
26. Sunan Ibni Majah.
27. Syarah Shahîh Muslim.
28. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.
29. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
30. Tafsîr Ibni Katsir, Cet. Darus-Salam, Riyadh.
http://novieffendi.com/
http://sahabatmutiara.com/blogs/viewstory/158
READ MORE →
Bagikan Ke :