Kuputuskan Berhenti Dari Dunia Karier...



Assalamualaikum
saudara fillahku....

Walau pernah di posting dan banyak saudara/i fillah yang membaca tapi g ada salahnya kali ini admin posting kembali...
yuuk kita resapi apa yg ada di kisah ini, kerna jika cma dibaca, cuma akan membuat mata lelah....


Sore itu sembari menunggu
kedatangan teman yang
akan menjemputku di masjid ini seusai ashar. Kulihat seseorang yang berpakaian rapi, berjilbab dan tertutup sedang duduk disamping masjid. Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga.

Aku mencoba menegurnya
dan duduk disampingnya,
mengucapkan salam, sembari berkenalan. Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada
pertanyaan itu.

“Anti sudah menikah?”.
“Belum ”, jawabku datar. Kemudian wanita berjubah
panjang (Akhwat) itu bertanya lagi
“kenapa?”
Pertanyaan yang hanya bisa ku jawab dengan senyuman. Ingin kujawab karena masih hendak melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan.

“Mbak menunggu siapa?”
aku mencoba bertanya.
“Menunggu suami” jawabnya
pendek.

Aku melihat kesamping
kirinya, sebuah tas laptop
dan sebuah tas besar lagi
yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya,
“Mbak kerja di mana?”

Entah keyakinan apa yang
membuatku demikian yakin
jika mbak ini memang seorang wanita pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya
mengabdi sebagai ibu rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan
hati.

“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan
menjawab,

“karena inilah PINTU AWAL kita wanita karir yang bisa membuat kita lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.

Aku berfikir sejenak, apa
hubungannya? Heran. Lagi-
lagi dia hanya tersenyum.

“Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin didatangi oleh laki-laki
yang baik-baik dan sholeh saja.

“Saya bekerja di kantor,
mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya.
Gaji saya 7 juta/bulan.
Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Kamu tahu kenapa ?

Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang.
Setibanya dirumah, mungkin hanya istirahat yang terlintas dibenak kami wanita karir.

Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali ukhty. Dan kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia masuk angin dan kepalanya pusing.
Celakanya rasa pusing itu
juga menyerang saya. Berbeda dengan saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah berkata,

“abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah !!”.

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan
cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya.

Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang
bukan mencucinya kalo bukan suami saya (kami memang berkomitmen untuk tidak memiliki khodimah)?
Terlihat lagi semua baju
kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi
mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing
tadi malam?

Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi
rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga.

Rasa iba mulai memenuhi
jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali
panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya.

Air mata ini menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.”

Subhanallah, aku melihat
mbak ini cerita dengan
semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.

“Kamu tahu berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700 rb/ bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam itu saya benar-benar merasa sangat durhaka pada suami saya.

Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan ikhlas dari lubuk hatinya. Setiap kali
memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata,

“Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah- mudahan Umi ridho”,

begitulah katanya. Saat itu saya baru merasakan dalamnya kata-kata itu.
Betapa harta ini membuat
saya sombong dan durhaka pada nafkah yang diberikan suami saya, dan saya yakin hampir tidak ada wanita karir yang selamat dari fitnah ini”

“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang
diberikan suami. Wanita itu
sering begitu susah jika tanpa harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.

“Beberapa hari yang lalu,
saya berkunjung ke rumah
orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya justru tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Sesuai dugaan saya, mereka malah membanding-bandingkan
pekerjaan suami saya dengan yang lain.”

Aku masih terdiam, bisu
mendengar keluh kesahnya.
Subhanallah, apa aku bisa
seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.

“Kak, bukankah kita harus
memikirkan masa depan ? Kita kerja juga kan untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini mahal.
Begitu banyak orang yang
butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah.
Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak
duluan sebelum sama yang
ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya.

Dari 4 orang anak bapak,
Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh
saudara sendiri yang ingin
membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”.
Ceritanya kembali mengalir,
menceritakan ucapan adik
perempuannya saat
dimintai pendapat.

“anti tau, saya hanya bisa
menangis saat itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, Demi Allah bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah DIPANDANG RENDAH olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam
hari ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu
menenangkan hati saya ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan ?

Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di
hadapannya hanya karena
sebuah pekerjaaan ?

Saya memutuskan berhenti
bekerja, karena tak ingin
melihat orang membanding-
bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya.

Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.

Saya juga memutuskan
berhenti bekerja untuk
memenuhi hak-hak suami saya.
Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami saya.
Mudah-mudahan saya juga ridho atas besarnya nafkah itu.

Saya bangga dengan pekerjaan suami saya ukhty, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan
pekerjaan seperti itu.

Disaat kebanyakan orang
lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi suami
saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi
istri dengan nafkah yang
halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.

Suatu saat jika anti mendapatkan suami seperti suami saya, anti tak perlu
malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan masalah
pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah,
semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang
haram”.Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis
padaku.

Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkanku.
Kulihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, wanita itu meninggalkanku.

Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang
begitu ridho.

Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang
menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupku.

Pelajaran yang membuatku
menghapus sosok pangeran
kaya yang ada dalam benakku.

سبحان الله والحمدلله ولا اله الا الله ولاحول ولاقوة الا بالله العلي العظيم.

Semoga pekerjaan, harta
dan kekayaan tak pernah
menghalangimu untuk tidak
menerima pinangan dari laki laki yang baik agamanya.

semuga bawa manfaat buat kita semua yang berkenan membaca dan mengambil hikmahnya...insyaAlloh
LihatTutupKomentar