Penjelasan Shalat Tarawih 11 dan 23 rokaat

بِســـمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم

Ikhtilaf apa perdebatan Tarawih?

hadits nabi Muhammad Saw : Man ‘Amila Amalan Laisa Alaihi Amruna Fahuwa Ra’dhun. Artinya siapa saja yang beramal suatu amalan yang padanya tidak ada contoh dan perintah kami, maka amalan itu tertolak.

MasyaAlloh, sangat berbahaya sekali. Amalan kita selama sebulan penuh bisa tertolak hanya karena pada amalan tarawih kita tidak ada contoh dan perintah Rasululloh. Jadi kekhawatiran yang ada merupakan satu kekhwatiran yang wajar dan mesti ada pada jiwa-jiwa seroang muslim yang mengaharap Rhidho Alloh. Lalu harus bagaimana mengahadapi polemic ini?

Baiklah, saya akan coba berbuat semampu saya dengan meninjau semua keterangan yang ada dalam permasalahan tarawih ini? Mulai dari :
- Jumlah rakaat.
- masalah tata cara rakaatnya
- Setelah Isya atau tengah malam?
- Sampai masalah Berjemaah atau tidak?

Dengan pemaparan ini bukan berarti saya lebih pintar dari sahabat muslim semua. Bukan pula saya merasa sok pintar dalam masalah-masalah Dienul Islam. Hanya saja saya berusaha berbuat sesuai kemampuan saya dan ilmu yang Alloh titipkan pada saya. Saya pun tidak akan menjudge ini yang Sunnah dan ini yang Bid’ah, ini salah dan yang yang ini yang benar. Semua saya serahkan kepada sahabat muslim yang mebaca keterangan-keterangan saya nanti. Jadi intinya saya hanya menyuguh keteranga-keterangan yang ada, baik dari hadits-hadits shohih maupun dari Al-Quranul-Karim.

Jadi marilah kita mulai mengulas, Bismillah :

a. Jumlah Rakaat.

Pertama, marilah kita mengulas permasalahan jumlah rakaat dahulu. Dalam permasalahan ini ada dua pendapat, ada yang mengatakan 23 rakaat ada juga yang mengatakan 11 rakaat. Mana yang benar, jawab saya Wallohu ‘alam. Namun, saya akan membawakan kepada sahabat muslim semua keterangan hadits-haditsnya.

"Pertama marilah kita lihat keterangan hadits yang mengatakan bahwa shalat tarawih itu 23 rakaat. Inilah haditsnya :

Artinya :
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW, shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at, . Di riwayat lain ada tambahan : “Dan witir setelah shalat dua puluh raka’at”.

Mari kita mulai tinjau hadits yang pertama ini. Setelah saya mencoba menelusuri silsilah hadits tentang jumlah rakaat tarawih adalah 23 di atas, saya mendapatkan sebuah keterangan tentang perowi hadits ini. Hadits ini semuanya diriwayatkan dari jalan Abu Syaibah, yang nama aslinya adalah Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakim dari Misqam dari Ibnu Abbas.

Nah, kali ini kita akan menyoroti sebuah nama yaitu Abu Syaibah. Ada apa dengan Abu Syaibah? Sahabat muslim ada yang tahu? Emh, pada awalnya juga saya tidak banyak tahu tentang Abu Syaibah. Namun setelah coba mencari info dalam kitab-kitab hadits. Ternyata para Imam hadits masyur mengatakan bahwa Abu Syaibah adalah seorang perowi yang riwayatnya tidak bisa digunakan, karena Abu Syaibah memiliki kecacatan dalam periwayatannya. Berikut adalah komentar para Imam Hadits Masyhur :

• Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dll : Dlo’if.
• Kata Imam Tirmidzi : Munkarul Hadits.
• Kata Imam Bukhari : Ulama-ulama mereka diam tentangnya .
• Kata Imam Nasa’i : Matrukul Hadits.
• Kata Abu Hatim : Dlo’iful Hadits, Ulama-ulama diam tentangnya dan mereka meninggalkan haditsnya.
• Kata Ibnu Sa’ad : Adalah dia Dlo’iful Hadits.
• Kata Imam Jauzajaniy : Orang yang putus .
• Kata Abu Ali Naisaburi : Bukan orang yang kuat .
• Kata Imam Ad-Daruquthni : Dlo’if.
• Al-Hafidz menerangkan : Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar.

Lalu apa tanggapan para Imam hadits terhadap hadits ini?

Al-Hafidz berkata di kitabnya Al-Fath : Isnadnya dlo’if, Al-Hafidz Zaila’i telah mendlo’ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah . Demikian juga Imam Shan’ani di kitabnya Subulus Salam mengatakan tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at.

Sedangkan Imam Thabrani berkata : Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini. Imam Baihaqi berkata : Abu Syaibah menyendiri dengannya, sedang dia itu dlo’if. Imam Al-Haistami berkata di kitabnya “Majmauz Zawaid : Sesungguhnya Abu Syaibah ini dlo’if.

Nah, jadi begitulah tanggapan para Imam Hadits terhadap hadits yang menyatakan bahwa sholat tarawih itu sebanyak 23 rakaat dhoif adanya. Jadi kini telah nampak bagi kita bahwa keterangan yang menyatakan sholat tarawih berjumlah 23 rakaat tenryata tidak bisa dipakai karena terdapat kelemahan dalam periwayatanya yaitu pada rowinya yang bernama Abu Syaibah.

Barulah sekarang kita melangkah kebagian kedua, yaitu bagaimana kedudukan dalil yang menyatakan bahwa sahalat tarawih itu berjumlah 11 rakaatnya. Berikut adalah haditsnya :
Artinya :
Dari ‘Aisyah Rhodiyallohu Anha : Tidak pernah Rosululloh Saw kerjakan (sholat tathowu) di ramadhan dan tidak di lainnya lebih daripada sebelas Rakaat, yaitu ia shalat empat (rakaat)- jangan engakau tanyakan tentang bagus dan panjangnnya. – kemudian ia shalat empat (rakaat) – jangan engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya – kemudian ia shalat tiga (rakaat).
Berkata Aisyah : Saya Bertanya : Ya Rasululloh apakah paduka tuan hendak tidur sebelum witir?
Sabdanya (Rosululloh) : Ya ‘Aisyah! Sesungguhnya dua mataku tidur tapi tidak tidur hatik. (HR. Bukhari Muslim).

Hadits di atas bisa sahabat muslim lihat dalam Kitab Bulughul Marram karya Imam Ibnu hajar Al-Atsqolani pada Bab Sholatu Tathowu (sunah) hadits no 400.

Dalam hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah di atas tidak terdapat kecacatan sedikitpun. Para ulama hadits pun sepakat akan keshohihan hadits ini. Maka keterangan hadits yang menyatakan bahwa Rasululloh shalat tarawih sebelas rakaat itu kuat dan bisa dipakai.

Sekarang, keputusan ada ditangan sahabat muslim. apakah sahabat muslim memilih dalil keterangan yang dhoif (lemah), maka sholatlah 23 rakaat. Atau sahabat muslim lebih memilih keterangan dalil yang kuat dan mengikuti sunnah, maka sholatlah 11 rakaat. Itu haq sahabat muslim, sebab sahabat muslim sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya. Tugas saya hanya sekedar menyampaikan saja.

B. Permasalahan Tata Caranya.

Kita masuk kepada peninjauan dalil pada permasalah yang kedua, yaitu tatacara praktek rakaatnya. Apakah 2 rakaat salam kemudian ditambah lagi 2 rakaat dan seterusnya? Atau empat rakaat salam dan ditambah lagi empat rakaat lagi? Mana tatacara yang benar dan mengikuti sunnah?

Baiklah mari kita tinjau kembali dalil-dalilnya!

Jika sahabat muslim meperhatikan keterangan hadits di atas (rakaat tarawih itu 11) yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah. Pada hadits di atas sebetulnya telah nyata bagi kita keterangan untuk menjawab hadits ini. berikut potongan hadits yang menunjukan keterangan tersebut :
yaitu ia shalat empat (rakaat)- jangan engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnnya. – kemudian ia shalat empat (rakaat) – jangan engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya – kemudian ia shalat tiga (rakaat).

Dari penejalsan detail hadits di atas maka sholat tarawih yang Rasululloh lakukan adalah empat rakaat salam kemudian empat rakaat salam Dan inilah pendapat yang paling kuat untuk tatacara rakaat pada shalat tarawih atau qiamu romadhon.

Lalu bagaimana kedudukan pendapat yang mengatakan bahwa shalat sunnah Tarawih atau qiamu romadhon itu dua rakaat salam, dua rakaat salam dan seterusnya. Dalil yang menyatakan sholatnya itu dua rakaat salam, tidaklah salah dan benar adanya. Hanya saja orang yang berpendapat bahwa shalat tarawih 2 rakaat salam dengan menggunakan dalil ini, kurang tepat atau keliru. Sebab dalil yang menyatakan 2 rakaat salam itu, dalillnya untuk shalat malam atau tahajud biasa.. berikut dalilnya :

Artinya : Dari Ibnu Umar, Ia berkata : Telah bersabda rosululloh Saw : “Shalat malam itu ialah dua rakaat – dua rakaat, tetapi apabila salah seorang diantara kalian khawatir datangnya subuh, boleh ia sholat satu rakaat (witir) yang mengganjilkan baginya sholat yang ia kerjakan.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Hadits ini terdapat pada kitab Bulughul marram karya Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani pada bab Sholat Tathowu, hadits no 390.

Ketarangan hadits melalui jalan Ibnu Umar ini memang membahas tatacara sholat dengan dua rakaat salam dua rakaat salam. Namum hadits ini juga sudah menjelaskan pada awal hadits, bahwa yang dua rakaat salam dua rakaat salam itu hanya untuk sholat malam atau Qiamu Lail atau yang sering kita sebut tahajud, dan bukan untuk sholat tarawih atau sholat Qiamu Romadhon.

D. Apakah Sholat Tarawih Harus Berjemaah atau Sendiri?

Sekarang kita masuk pada peninjauan masalah pertentangan yang selanjutnya, apakah sholat tarawih harus berjemaah atau tidak? Di permasalahan ini juga menimbulkan pro kontra yang cukup sengit jika permasalahan ini dibawah ke ranah diskusi.

Seperti yang kita ketahui, pada umumnya di masyarakat luas bahwa kebanyakan di masyarakat kita adalah shalat tarawih berjemaah setelah sholat Isya selesai dilaksanakan. Atau dengan kata lainnya inilah yang lebih umum dilakukan oleh mayoritas orang-orang di lingkungan kita. Maka dari itu saya akan mengajak sahabat muslim semua untuk meninjau bagian ini dahulu.

Kita akan sama-sama meninjau, apakah ibadah sholat sunnah tarawih berjemaah dan dilakukan ba’da Isya itu ada dalil serta dasar hukumnya?

Mengapa harus ditinjau dari segi hal itu dahalu?

Karena, tarawih adalah ibadah, dan menurut qoidah Ushul Al-Ashlu il ‘Ibaadah Buthlan, hatta yaakuna ad-dalilu ‘ala amrihi (Asal dalam melaksanakan ibadah itu adalah batil, sehingga ada dalil yang memerintahkannya). Jadi semua Ibadah yang kita lakukan di dunia ini pada mulanya bathil, ia menjadi sunnah atau wajib yang bernilai ibadah ketika ada dalil yang memerintahkan ibadah tersebut.

Setelah saya coba cari dan telusuri tentang dalil-dalil tentang sholat tarawih berjemaah ba’da Isya, Alhamdulillah saya menemukannya. Dan berikut adalah haditsnya :

Dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha bahwa ia menuturkan :

"Dahulu manusia shalat di masjid Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam di malam bulan Ramadhan dengan berpencar-pencar (yakni dengan berimam sendiri-sendiri). Seorang yang banyak hapal Al-Qur'an, mengimami lima sampai enam orang, atau bisa jadi lebih atau kurang. Masing-masing kelompok shalat bersama imamnya. lalu Rasulullah menyuruhku untuk memasang tikar di depan pintu kamarku.
Akupun melakukan perintahnya. Sesuai melakukan shalat 'Isya di akhir waktu, beliau keluar kemuka kamar itu. 'Aisyah melanjutkan ceritanya : Manusia yang kala itu ada di masjidpun lantas berkumpul ke arah beliau. Lalu beliau sholat bersama mereka shalat sepanjang malam. Kemudian orang-orang bubar, dan beliaupun masuk rumah. Beliau membiarkan tikar tersebut dalam keadaan terbentang. Tatkala datang waktu pagi, mereka memperbincangkan shalat yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada pada malam itu (maka berkumpullah manusia lebih banyak lagi) dari sebelumnya. Sehingga akhirnya masjid menjadi bising Pada malam ke dua itu, Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam kembali shalat bersama mereka. Maka di pagi harinya, orang kembali memperbincangkan hal itu, sehingga orang yang berkumpulpun bertambah banyak lagi (pada malam ketiga) sampai masjid menjadi penuh sesak. Rasul-pun keluar dan shalat mengimami mereka. Di malam yang keempat, disaat masjid tak dapat lagi menampung penghuninya ; Rasulullah-pun keluar untuk mengimami mereka shalat 'Isya dipenghujung waktu. Lantas (pada malam itu juga) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumahnya, sedangkan manusia tetap menunggunya di masjid". 'Aisyah lalu menuturkan : "Rasulullah bertanya kepadaku :"Orang-orang itu sedang apa ya 'Aisyah ?" Saya pun menjawab : "Wahai Rasulullah, orang-orang itu sudah mendengar tentang shalatmu tadi malam bersama orang-orang yang ada di masjid ; maka dari itu mereka berbondong memenuhi masjid untuk ikut shalat bersamamu". Lalu 'Aisyah melanjutkan kisahnya : "Beliau lantas memerintahkan :"Tolong lipat kembali tikarmu, wahai 'Aisyah !". Akupun lantas melakukan apa yang beliau perintahkan. Malam itu, beliau berdiam di rumah tanpa tidur sekejappun. Sedangkan orang-orang itu tetap menunggu ditempat mereka. Hingga datang pagi, barulah Rasulullah keluar. Seusai melaksanakan shalat subuh, beliau menghadap kearah para sahabatnya] dan bersabda :
"Wahai manusia, sungguh demi Allah, aku sama sekali tidak tertidur tadi malam. Akupun tahu apa yang kalian lakukan. Namun (aku tidak keluar untuk shalat bersama kalian) karena aku khawatir shalat itu menjadi (dianggap) wajib atas diri kalian.
Sesungguhnya Allah tak akan bosan, meskipun kamu sendiri sudah bosan". (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343).

Itulah hadits yang sangat panjang yang menjadi dasar dalil melakukan sholat taraweh berjemaah (dan tidak ada penjelasan ba’da Isya, untuk yan ba’da Isya entah dari mana, saya belum menemukannya).

Nah, sekarang mari kita tinjau hadits Riwayat Imam Bukhari melalu jalan Aisyah RA tersebut.

Setelah saya perhatikan dengan mengkaji, justru malah sebaliknya lho. Hadits ini seharusnya menjadi dalil bahwa sholat tarawih itu tidak berjemaah. Lho, kenapa? Pasti sahabat muslim bertanya-tanya seperti itu. Okay, mari kita runut satu persatu kejadian dalam hadits di atas, dan apa kesimpulannya?

Pada malam pertama dibulan Ramdhan (yang pertama kali dilakukan) Rasululloh melakukan sholat Qiamu Ramadhan (Tarawih) di mesjid, kemudian beberapa orang yang melihat hal itu mengikuti sholat dibelakang Rasululloh.

Ketika Pagi hari, orang-orang yang mengikuti Sholat Rasululloh bercerita kepada teman-temannya tentang sholat yang mereka lakukan tadi malam. Maka tatkala Rasululloh Sholat pada malam Kedua jumlah orang yang mengikuti sholat bersama Rasululloh menjadi lebih banyak.

Kemudian ketika pagi tiba orang-orang yang banyak itu bercerita kepada teman-temannya lagi. Sehingga pada malam ketiga, saat Rasululloh sholat, semakin banyak saja yang mengiti. Dan di malam yang keempat Mesjid membeludak jemaah dan tidak mampu lagi menampung jemaahnya. Dan Rasululloh tidak keluar untuk sholat lagi, beliau tetap diam di rumahnya tanpa tidur (sholat di rumah).

Maka orang-orang yang membeludak itu merasa keheranan. Kenapa Rosululloh tidak keluar sampai subuh tiba? Setelah Sholat Subuh Rosululloh langsung berkhutbah untuk menjawab pertanyaan mereka, beliau bersabda : "Wahai manusia, sungguh demi Allah, aku sama sekali tidak tertidur tadi malam. Akupun tahu apa yang kalian lakukan. Namun (aku tidak keluar untuk shalat bersama kalian) karena aku khawatir shalat itu menjadi (dianggap) wajib atas diri kalian.

Dan di sinilah yang menjadi titik kesimpulan yang saya katakana bahwa hadits ini seharusnya menjadi dalil bahwa sholat tarawih itu tidak dengan berjemaah. Karena rasululloh yang tadinya melakukan sholat tersebut pada akhirnya meninggalkannya sampai akhir hayat beliau.

Inilah yang disebut dalam kajian ilmu ushul fiqieh Nasih Mansuh, yaitu menghapus ketentuan yang lama dengan ketentuan hukum yang baru (kalau bahasa di Hukum UUD thogut, Amandement). Artinya Rasululloh yang tadinya sholat dengan bersama di mesjid, dihapus oleh ketentuan yang baru, yaitu Rosululloh tidak sholat berjamaah dan sholat di rumah. Dan ketentuan itu tidak beliau rubah hingga beliau wafat.

Jadi dari situlah kesimpulan saya tentang hadits ini, yang mana saya katakan bahwa hadits ini sebetulnya menyatakan bahwa rasululloh sholat tidak dengan berjemaah.
Lalu ada beberpa kalangan yang berpendapat, “Kan Rasululloh meninggalkannya karena takut di anggap wajib,” atau dengan kata lain mereka ingin mengatakan “Takut jadi diwajibkan oleh Alloh.”

Ini sebuah alasan yang terlalu mengada-ngada (menurut saya). Kenapa? Apa mungkin Alloh bisa dipermainkan dalam segi memberikan hukum? Hingga kita bisa atur supaya suatu hal itu tidak dijadikan wajib oleh Alloh. Inilah pendapat yang sangat patal, sebab sama saja menggapa Alloh bodoh dan tidak maha kuasa. Itu Mustahil bagi Alloh, sebab jika Alloh ingin mewajibkan suatu hal, pasti Alloh wajibkan, tanpa harus manusia melakukannya terlebih dahulu. Begitu pun sebaliknya jika Alloh tidak akan mewajibkan sesuatu, tidak harus menunggu manusia membiasakannya terlebih dahulu. Karena Alloh tidak butuh dan tidak mungkin bisa dintervensi oleh manusia.

Itulah yang sangat mendasari saya menolak alasan hadits ini dijadikan alasan untuk melakkan sholat tarawih dengan berjemaah. Tentunya setelah meninjaunya, seperti yang sahabat muslim saksikan tadi.

Lalu sejak kapan ada lagi tarawih berjemaah dimesjid?

Sekali lagi sampai Nabi wafat tidak pernah terjadi lagi. begitu pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar As-Shidiq. Lalu kapan? Jawabannya pada masa Khalifah Umar Bin Khatab RA. Dan inilah yang menjadi dalil lagi bagi yang melaksanakan Tarawih berjemaah. Padahal keteranngannya pun sangat lemah, mari kita lihat dalilnya :

Dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!”
(Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).

Dengan keterangan di atas, maka kita bisa mengetahui kapan adanya tarawih berjemaah. Dan tidak lain jawabannya adalah pada masa Khalifah Umar Bin Khotob.
Dan sekarang mari kita cermati dan amati, apakah keterangan dalil di atas bisa kita jadikan alasan untuk tarawih berjemaahnya.
Mari kita mulai meninjau lagi :

Kita lihat Al-Quran untuk mencari keterangan menanggapi hadits ini, mari kita baca apa yang dikatakan Alloh :

“....Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu,” (QS. Al-Maidah :3).

Apa maksudnya saya memposting ayat ini? Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa Rosululloh tidak pernah melakukan Sholat Tarawih berjemaah lagi. Dan dengan turun ayat di atas pada saat haji wada, maka telah sempurna semua ajaran Islam. Baik yang berupa ibadah, hukum, ataupun yang bersiafat syariat. Maka ajaran yang sudah sempurna, tidak membutuhkan lagi penambahan dengan alasan apapun.
Jika masih ditambah dengan alasan itu kan baik, berarti beranggapan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad belum sesempurna yang diidamkan.

Lalu, dalam hadits di atas mesti banyak yang kita tinjau lagi. Seperti, perkataan Umar (nimatul bid’ah hadzihi), kenapa diartikan inilah sebaik-baiknya bi’dah? Padahal arti yang tepat secara mufrodat artinya INILAH NIKMATNYA BID’AH. Ya begitulah Bid’ah, selalu saja nikmat karena dianggap baik dan bagus.
سبحانك الله وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك

LihatTutupKomentar