Anak Tanggung Jawab Ayah



Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga-keluar
ga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)
Para ulama menyatakan: ‘Diri-diri kalian,’ yakni: Anak-anak kalian, karena anak itu merupakan bagian dari diri ayahnya. Dan ‘keluarga-keluarga kalian,’ yakni: Istri-istri kalian.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ
“Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian tidak lain kecuali ujian.” (QS. At-Taghabun: 15)
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 1829)
Dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu anhu dia berkata: Sesunguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hambapun yang Allah berikan kepadanya beban untuk memimpin, lalu dia mati dalam keadaan menipu orang-orang yang dia pimpin, kecuali Allah akan mengharamkan surga atasnya.” (HR. Muslim no. 142)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Penjelasan ringkas:
Anak-anak, pendidikannya, serta pengurusannya adalah amanah yang Allah berikan kepada para ayah, karenanya para ayah adalah pimpinan mereka dan penanggung jawab atas keadaan mereka. Wajib atas para ayah untuk menasehati anak-anak mereka dengan kebaikan dan menjadikan pendidikan serta perbaikan mereka merupakan pekerjaan dan urusannya yang paling utama dan paling penting. Tidak boleh bagi seorang ayah untuk hanya memenuhi semua kebutuhan jasad dari anaknya berupa makanan dan pakaian lalu setelah itu dia menganggap kewajibannya hanya itu kemudian menyibukkan dirinya sendiri dengan pekerjaan dunianya dan tidak mengurusi kebutuhan ruhani dari anak-anaknya. Karena barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut niscaya dia akan menyesal pada akhirnya, baik di dunia ketika dia sudah tua dan anak-anaknya juga tidak mau mengurusinya, terlebih lagi di akhirat ketika dia dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang telah dibebankan kepadanya tersebut.

Memenuhi kebutuhan ruhani anak-anak -berupa keimanan dan amal saleh- jauh lebih penting daripada memenuhi kebutuhan jasadnya. Karenanya Allah Ta’ala dalam Al-Qur`an tidak pernah memerintahkan para ayah untuk melindungi anaknya dari panasnya terik matahari atau dari panasnya rasa lapar, akan tetapi justru Allah memerintahkan mereka untuk melindungi anak-anak mereka dari api neraka. Sudah dipastikan bahwa setiap ayah tentu sangat menyayangi dan mencintai anak-anaknya dan tidak akan tega membiarkan anak-anaknya tidak makan atau tidak berpakaian, maka apakah dia tega jika anaknya dijadikan sebagai bahan bakar neraka atau berpakaian dengan pakaian dari api neraka?!

Karenanya Allah Ta’ala mengingatkan bahwa kecintaan kepada anak-anak jangan sampai membuat mereka mencelakai anak-anak mereka sendiri, karena anak-anak itu hanya merupakan ujian bagi mereka. Dengan alasan kasih sayang, dia tidak mau menyuruh anaknya shalat padahal dia sudah berumur 7 tahun, tidak mau memukulnya jika tidak mau shalat padahal anaknya sudah berumur 10 tahun. Tidak mengajari dan menyuruhnya berpuasa padahal puasa sudah wajib atasnya hanya karena alasan kasihan melihatnya kelaparan. Memenuhi semua apa yang anaknya dengan alasan kasih sayang, walaupun permintaan si anak bisa mencelakai anak itu sendiri baik mencelakai jasadnya maupun mencelakai imannya. Intinya, Allah Ta’ala memerintahkan para ayah untuk mencintai dan menyayangi anak-anaknya akan tetapi tetap dalam aturan syariat dan tidak berlebihan dalam memanjakannya hingga menelantarkan pengajaran keagamaan anak-anaknya.

Hendaknya para ayah mengingat bahwa sikap keras -sesekali- kepada anak dan gemblengan keagamaan yang benar kepada mereka -walaupun merupakan amalan yang berat dan melelahkan- akan tetapi amalan ini termasuk dari penentu nasibnya di akhirat kelak. Jika dia berhasil maka dia akan bisa menjawab pertanyaan Allah kepadanya tentang tanggung jawabnya, dan dia senantiasa mendapatkan limpahan pahala dan keutamaan sampai walaupun dia telah meninggal, karena adanya doa dan amal saleh dari anak-anaknya. Tapi sebaliknya jika dia gagal dalam amalan ini karena keteledoran dia atau sikap acuh tak acuh dia terhadap pendidikan keagamaan anaknya, maka dia akan menyesal pada hari kiamat tatkala dia tidak bisa menjawab pertanyaan Allah terhadapnya yang akan menyebabkan dia diharamkan untuk masuk ke dalam surga, wal ‘iyadzu billah. Adapun jika dia telah berusaha memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah dalam memenuhi pendidikan keagamaan anaknya akan tetapi Allah dengan takdir-Nya yang penuh hikmah menetapkan anaknya tidak menjadi anak yang saleh, maka insya Allah dia tidak akan dituntut pada hari kiamat karena dia telah menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya.

Bukan yang dimaksudkan dengan memenuhi kebutuhan keagamaan anak di sini adalah dengan sekedar memasukkannya ke ponpes atau pondok tahfizh atau SDIT sejak usia dini lalu setelah itu dia berlepas tangan dan tidak mau tahu pokoknya anaknya harus bias ngaji harus hafal Al-Qur`an dan hadits, dan seterusnya dari target-target yang mulia tapi tidak diiringi dengan keseriusan sang ayah dalam mendidiknya kecuali keseriusan dia dalam membayarkan kewajibannya kepada sekolah. Yang dia ketahui hanya wajib membayar SPP setiap bulan lalu menyerahkan sisanya kepada para guru dan penanggung jawab di sekolah. Tentunya bukan tanggung jawab seperti ini yang kami maksudkan, karena bagaimanapun juga peran orang tua di rumah jauh lebih mempengaruhi keadaan sang anak daripada pendidikan para guru. Wallahul musta’an.

Terakhir, sebagai langkah awal bagi setiap ayah dalam memperbaiki keadaan keagamaan anak-anaknya adalah memperbaiki keadaan keagamaan diri sendiri baik sebelum maupun setelah dia menikah, serta wajib atasnya untuk memilih istri yang salehah karena ‘buah biasanya tidak jatuh jauh dari pohonnya’. Wallahul muwaffiq.

http://al-atsariyyah.com/
LihatTutupKomentar