..:::: Menjadi Umat Bermartabat ::::..

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” QS Ali Imron (3) : 110


Ketika Yerusalem ditaklukkan, Khalifah Umar bin Khattab datang ditemani seorang pelayannya, mengendarai seekor unta secara bergantian. Umar mengenakan pakaian biasa yang begitu sederhana, lusuh dan berdebu, karena ia telah menempuh perjalanan yang amat jauh. Sementara penguasa Yerusalem, Uskup Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja dan pemuka kota, siap menyambut Umar untuk menyerahkan kedaulatan Yerusalem ke tangan kaum Muslimin. Masing-masing mengenakan pakaian kebesaran sebagaimana layaknya para penguasa Romawi. Melihat hal itu kaum Muslimin sempat berkecil hati dan meminta Umar berganti pakaian yang pantas. Umar menolak dan mengatakan, “Cukuplah Islam itu yang menjadikan kita mulia!”

Begitulah kata Umar, dan begitu pula seharusnya cara pandang kita. Islam ini yang menjadikan kita mulia, bukan yang lain. Kita patut bersyukur bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah memilih kita di antara 6,5 milyar umat manusia yang hidup sekarang ini untuk memeluk agama yang mulia, yang mengajarkan kepada kita untuk menjaga harga diri dan kehormatan. Islam menuntun kita menjadi manusia bermartabat dan beradab, bukan dari pakaiannya, bukan karena kekayaan dan kedudukannya, tetapi karena keunggulan sifat-sifat kemanusiannya. Di sisi lain kita melihat kehidupan manusia yang hanya mempertontonkanselera yang rendah. Allah menggambarkan kehidupan mereka dalam al-Qur`an Surat Muhammad {47}: 12 :
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang, dan neraka Jahannam adalah tempat tinggal mereka.”

Begitulah mereka mengisi kehidupan dunia ini. Bagi mereka hidup hanya berarti 3 hal: wine, dine, entertain. Hidup hanya sekadar makan, minum, pesta, fashion, musik, film, hiburan, tak ubahnya kehidupan binatang.
Kita patut bangga menjadi pemeluk Islam, satu-satunya agama yang dijamin kebenarannya oleh Allah. Tidak ada jalan kebenaran di luar Islam. Perjalanan panjang peradaban Barat sejak Yunani kuno adalah perjalanan manusia-manusiayang senantiasa terombang-ambing dalam kebingungan. Tidak ada kebenaran yang pasti bagi mereka. Jika ada yang mengatakan sesuatu itu benar, maka yang lain sah-sah saja jika mengatakan itu salah. Semuanya relatif.

Walaupun banyak diikuti manusia dewasa ini, pandangan hidup Barat tidak menjanjikan apapun selain keraguan. Kita patut bersyukur memiliki kitab suci yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya, sementara yang lain hanya berpedoman pada prasangka dan tulisan-tulisantangan manusia yang senantiasa harus dikoreksi dan dibongkar kembali. Kita tidak perlu ragu melangkah dalam hidup, sebagaimana jaminan Allah : “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah {2} : 147.

Kita juga patut bangga, karena Islam inilah satu-satunya agama yang telah terbukti memberi rahmat bagi seluruh alam. Sejarah menunjukkan, ketika umat Islam berkuasa di belahan bumi manapun maka di sana akan kita jumpai kedamaian dan ketentraman bagi seluruh umat manusia. Hal sebaliknya terjadi ketika orang-orang kafir yang berkuasa. Ketika gabungan tentara Salib dari Eropa menaklukkan Yerusalem, lebih dari 70 ribu manusia tidak berdosa dibantai sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki. Sebaliknya, ketika kaum Muslimin di bawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi merebut kembali Yerusalem, para penjahat kemanusiaan itu dipersilakan meninggalkan Yerusalem dengan aman. Tujuh ratus tahun lamanya orang-orang Kristen dan Yahudi di Eropa hidup tentram dalam kekuasaan Khilafah Bani Umayyah yang berpusat di Andalusia, tetapi ketika kekuasaan jatuh ke tangan penguasa Kristen, tak sedikitpun umat Islam disisakan untuk hidup. Hari ini kita juga menyaksikan ketika Amerika dan sekutunya menguasai dunia, kehancuran peradaban dan tragedi kemanusiaan susul-menyusul terjadi di berbagai belahan dunia. Hanya dengan Islam, kehidupan dunia yang penuh rahmat bisa diwujudkan. “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” QS Al-Anbiya’ (21) : 107.

Menyadari betapa beruntungnya kita menjadi pemeluk Islam ini, mari kita tampil dalam arena kehidupan ini dengan penuh percaya diri. Isyahduu bi annaa muslimun, saksikan bahwa kami orang-orang Islam. Kita dakwahkan Islam ini kepada seluruh manusia dengan penuh kebanggaan, karena kita mengajarkan kemuliaan, mengajak kepada satu-satunya jalan kebenaran, membebaskan manusia dari kebingungan dan keraguan, dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Sikap seperti inilah yang ada pada diri para sahabat Nabi sejak pertama kali mereka mengenal Islam.

Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya, begitu menerima kebenaran ajaran Islam dari Nabi, segera ia teriakkan kalimat tauhid di tengah-tengah mayoritas orang kafir Quraisy. Walaupun kemudian babak-belur dihajar orang-orang kafir, Abu Bakar sama sekali tidak menyesali apa yang menimpa dirinya. Demikian juga ketika Umar bin Khattab masuk Islam dan melihat Nabi mendakwahkan Islam ini secara sembunyi-sembunyi, Umar menemui Nabi dan berkata : “ Ya Rasulullah, bukankah Islam ini yang hak dan mereka itu batil, mengapa tidak kita sampaikan saja Islam ini terang-terangan.” Begitulah gelora yang ada dalam diri para sahabat Nabi untuk mendakwahkan Islam karena mereka telah merasakan kemuliaannya.

Begitulah gambaran generasi terbaik dari umat ini sebagaimana firman Allah : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imron {3} : 110)

Ciri utama generasi terbaik itu adalah mereka senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Keimanan mereka mendorong mereka untuk senantiasa mengajak manusia untuk beriman dan senantiasa melakukan kebaikan. Mereka akan sangat gelisah manakala kemaksiatan tersebar di muka bumi dan selalu berusaha untuk menghapuskannya.

Kita mewarisi agama yang sama dan kitab suci yang sama. Kita juga bisa menjadi umat terbaik itu. Sungguh memprihatinkan ketika orang-orang kafir bangga dengan kekafirannya, kita malu-malu menampakkan keislaman kita. Orang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangandi depan mata kita, sementara kita lebih sering berdiam diri bahkan ciut nyali untuk mengingatkannya. Padahal Nabi memerintahkan kepada kita : “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah mereka merubah dengan tangannya. Kalau tidak mampu, maka hendaklah mengubah dengan lisannya. Kalau tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya. Adapun yang demikian itu selemah-lemah iman.”

Yang lebih memprihatinkan lagi manakala segala kemaksiatan itu tidak menjadikan kita terusik. Jika demikian, kita bukan lagi berada dalam selemah-lemah iman, bisa jadi kita telah kehilangan iman itu sendiri.
Wallahu a'lam bhis showab
LihatTutupKomentar