::Menegakkan yang Haq, Panggilan Fitroh::

Assalamualaikumwarokhmatullohiwabarokaatuh ...

Kata al-insan (manusia) berasal dari akar kata al-uns yang artinya harmonis. Manusia cenderung merasa senang dengan segala kebaikan yang dikenali hati (al-ma’rufat) dan benci dengan segala kejahatan yang diingkari hati (al-munkarat).

Apabila seseorang berhenti sejenak dari kesibukan dunia, terdengarlah suara hati (dhamir) yang mengajak dia berdialog dengan totalitas wujud Yang Maha Mutlak (wajibul wujud), wujud yang tak bisa ditangkap oleh panca indera. Ini berbeda dengan objek-objek yang sehari-hari bisa ditangkap oleh panca indra, yang sesungguhnya adalah sangat relatif (mumkinul wujud).

Suara hati (dhamir) mengantar manusia pada kesadaran bahwa betapa lemah dirinya di hadapan-Nya, betapa Maha Kuasa dan Perkasa Dia Yang Maha Agung itu. Itulah suara hati nurani (hati yang bersinar).
Setiap manusia, dengan berbagai kedudukannya, memiliki fitrah itu. Sekalipun seringkali, karena kesibukan, manusia mengikuti hawa nafsu, cinta dunia dan dosa-dosa, fitrah itu terabaikan dan tertutupi. Suaranya demikian lemah sehingga nyaris tak terdengar lagi.

Tetapi, bila suara hati itu berusaha didengarkan dengan serius, kemudian benar-benar ditancapkan dalam jiwa, maka hilanglah unsur-unsur ketergantungan lain kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Tiada menitipkan harapan, tempat bergantung, tempat mengabdi, kecuali kepada Allah SWT. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Yang Maha Perkasa.

Hanya saja, bagaimana berkomunikasi dengan-Nya? Jawabnya adalah lewat wahyu. Wahyu yang terangkum dalam al-Qur`an dan al-Hadits akan membimbingnya dan mendefinisikannya.

Setelah suara hati didengarkan dengan seksama, maka tidak ada lagi perasaan gundah gulana. Lenyap pula ketakutan yang menghantui dan mencengkeram. Tiada pula rasa sedih yang akan mencekam.

Semua Manusia Punya

Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi (Riwayat Muslim).

Hadits di atas diawali dengan kalimat fitrah, kemudian diakhiri dengan kata-kata Yahudi, Nasrani, dan Majusi.

Maka, arti fitrah yang benar adalah Islam. Jadi, fitrah manusia adalah patuh kepada Dinul Haq (Islam). Kebutuhan berislam, patuh kepada aturan Allah SWT, adalah fitrah yang permanen. Sedangkan mengingkari Islam bersifat temporal (sementara saja).
Memang ada saat-saat fluktuasi di mana manusia mengalami keraguan tentang wujud Allah SWT, memusuhi-Nya, bahkan menolak kehadiran dan interfensi-Nya.Hal ini bisa dilihat dalam Qur`an Surat Al-Jasiyah [45]: 24.

Akan tetapi, keraguan dan kebimbangan itu pasti beriringan dengan kegelisahan, kecemasan, ketidaktenteraman, kegersangan spiritual, khususnya ketika merenung dan dihadapkan dengan kenyataan pahit (bencana).

Ini karena di dalam diri manusia terdapat nafsu lawwamah (gugatan batin) jika melanggar aturan-Nya. Manusia akan merasa bersalah (inhizamun nafsi) jika menyimpang dari panggilan jiwanya. Coba simak Qur`an Surat Yunus [10]: 22.

Bukti pernyataan yang lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir’aun ketika ruhnya akan terlepas dari jasadnya. Al-Qur`an menjelaskan sikap Fir’aun yang ketika itu kembali kepada fitrah, tetapi terlambat. Allah SWT menerima taubat seseorang kecuali jika nyawanya sudah berada di ujung tenggorokan. Perhatikan Qur`an Surat Yunus [10]: 90-91.

Mengapa manusia bisa seperti itu? Jawabnya, karena fitrah manusia mudah terkontaminasi dengan berbagai penyakit. Awalnya, fitrah manusia adalah sehat. Tetapi, karena manusia jauh dari syariat Allah SWT, dengan pergiliran zaman, tanpa terasa fitrah manusia menjadi sakit. Inilah yang terjadi dengan Fir’aun.

Iqamatul Haq

Syariat Islam merupakan tuntunan yang dihajatkan oleh fitrah manusia agar terarah dan berdaya. Al-Qur`an menegaskan bahwa jika manusia menggali potensi spiritual, intelektual, dan emosionalnya, maka manusia akan dapat memahami bahwa di atas langit, di tengah dirinya, di bawah bumi dan seisinya, berlaku aturan-aturan, tanda-tanda, dan bukti yang menunjukkan wujud ‘Rabb’.

Dialah Yang memelihara dan mengendalikan semua itu dengan undang-undang-Nya – yang dikenal dengan sunnatullah. Tiada satu pun mahluk yang terlepas dari undang-undang tersebut. Coba perhatikan Qur`an Surat Fushshilat [41]: 53.

Aturan Allah SWT dikenal dengan qadha’ tasyri’i dan aturan ciptaan Allah SWT (khalqullah) disebut qadha’ takwini (sunnah kauniyah). Kepatuhan kepada aturan syariat dan menegakkannya dalam realitas kehidupan (iqamatul haq) akan mempengaruhi keteraturan dan keharmonisan alam semesta.
Misalnya, perbuatan zina dapat memperpendek usia, sedekah bisa menolak bencana (bala’), senang bersilaturrahimbisa memperpanjang umur dan melipat gandakan rizki, menghormati tamu membawa rizki dan melempar dosa pemilik rumah ke laut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) tidak berani mengubah hukum Allah SWT. Dahulu ada seorang wanita makhzumiyah yang meminjam perhiasan, namun ia mengingkarinya.Lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk memotong tangan wanita yang berasal dari suku terpandang itu.

Seketika itu keluarganya pun datang kepada Usamah bin Zaid RA dan mendiskusikan kasus tersebut dan meminta dispensasi hukuman. Lalu Usamah melaporkannya kepada Rasul SAW.

Spontan Rasulullah SAW menolak permintaan tersebut. Beliau berdiri dan berkhutbah:
“Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kalian adalah manakala orang terhormat mencuri, mereka membiarkannya. Dan apabila yang mencuri pada mereka adalah orang-orang yang lemah, mereka memotong tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya, andaikata Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya.” Maka dipotonglah tangan wanita Makhzumiyah itu. (Riwayat Ahmad, Muslim dan Nasai dari Aisyah)

Kisah Ja’far

Pada zaman Nabi Muhammad SAW orang-orang Arab Jahiliyah beramai-ramai memenuhi seruan Islam dan meninggalkan agama nenek moyang. Mereka yakin bahwa dinul haq yang dibawa Rasulullah SAW mampu memandu mereka pada kehidupan yang bermartabat, mensucikan, memakmurkan (maddana), dan lebih cemerlang.

Ketika Hijrah Pertama ke negeri Ethiopia, umat Islam yang dipimpin Ja’far bin Abi Thalib ditanya oleh para pembesar kerajaan itu tentang kebenaran agama yang dipeluknya.
“Mengapa Anda meninggalkan agama nenek moyang dan memeluk agama baru yang dibawa oleh Muhammad,” tanya Raja Habsyi.

“Tuan Raja, kami dahulu adalah bangsa yang sangat bodoh. Kami pemuja berhala, pemakan bangkai (hewan yang disembelih tidak menyebut nama Allah SWT). Kami juga melakukan semua perbuatan yang keji (berjudi, mencuri, minum arak, main perempuan, membunuh jiwa yang tidak bersalah), kami saling bermusuhan satu sama lain, kami mengganggu dan merampok tetangga. Siapa yang kuat di antara kami selalu menelan yang lemah, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terhina.”

“Kemudian datanglah Muhammad sebagai utusan Allah SWT. Kami ketahui sifat kebenaran dan kejujurannya, serba amanah dan terhormat. Ia mengajak kami untuk mengabdikan diri ke hadirat Allah SWT, tanpa membuat sekutu apapun kepada-Nya. Ia menyeru agar kami bersikap benar, amanah, bersatu, saling menghormati sesama penduduk, tidak melakukan dosa dan menjauhi pertumpahan darah. Ia larang kami berlaku keji, dusta, memakan harta sesama dengan cara yang tidak sah. Ia ajari kami shalat, puasa, dan kebajikan lainnya, lalu kami membenarkan dan meyakini kebenaran ajarannya.”

Demikianlah, dengan menegakkan syariat Islam dalam skala kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat, akan memperoleh kehidupan yang penuh kenikmatan, hayatan thayyibah, qaryatan mubarakah, baladan amina, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Manusia bisa diselamatkan dari berbagai penyakit moral, dan derajat manusia ditinggikan dengan kebenaran Islam.

Wallahu A’lamu bish-Shawab.
LihatTutupKomentar