Kalau Benar Cinta, Ikuti Nabi..

Assalamualaikum warokhmatullohi wabarokaatuh...


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali-Imran [3]: 31)

Sabab Nuzul Ayat
Imam at-Thabari, dalam kitab Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an atau yang populer dengan sebutan Tafsir at-Thabari menyebutkan, sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan pengakuan suatu kaum pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “Wahai Nabi, persaksikanlah kami adalah orang-orang yang mencintai Rabb kami.” Nabi lalu berkata, “Jika kalian benar-benar jujur dengan perkataan kalian, maka hendaknya kalian mengikutiku. Sesungguhnya hal itu sebagai tanda kejujuran dari ucapan kalian.”

Mukaddimah
Syariat Islam sebagai aturan yang universal menempatkan cinta sebagai bagian dari ibadah seorang hamba. Jika cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala benar dan terbukti, orang itu bisa mendulang pahala. Sebaliknya, ia bisa jadi mendapat percikan dosa hanya gara-gara urusan cinta yang keliru. Mengaku cinta tapi perbuatannya tak sesuai dengan pengakuannya. Menyatakan cinta namun perbuatan yang dikerjakan justru bertentangan dengan kemauan orang yang dicintai itu.

Sama halnya dengan bentuk-bentuk ibadah hati yang lain, cinta juga memiliki pembahasan tersendiri sebagai pilar penting dalam kesempurnaan ibadah seorang Muslim. Lebih lanjut Syaikh al-Islam Muhammad bin Abdul Wahhab menegaskan, meskipun orang-orang kafir mengerjakan seluruh perintah yang ada, namun mereka tetap dianggap belum menyempurnakan kalimat tauhid selama ia tidak cinta kepada Allah sebagai dasar diterimanya amalan tersebut. (Kitab at-Tibyan syarah Nawaqidh al-Islam)

Makna Ayat
Dalam ayat ini terkandung beberapa penjelasan terkait kewajiban mencintai Allah, tanda-tandanya, serta hasil yang didapatkan dari cinta tersebut. Imam Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan dalam kitab Taisir Karim ar-Rahman fi Kalam al-Mannan, pengakuan cinta kepada Allah adalah maqam tertinggi dalam hubungan manusia kepada Tuhannya. Terlebih jika ternyata Allah juga berkenan ridha dan mencintai hamba itu. Maka akan terjadi hubungan timbal balik yang sangat kuat. Seorang Muslim menyatakan cinta kepada Allah, sedang Sang Khaliq sebagai Zat Penguasa di alam semesta juga menyatakan ridha atas kecintaan hamba-Nya itu. Hal inilah yang pernah dialami oleh para sahabat, generasi terbaik yang hidup semasa Rasulullah SAW seperti pada surah At-Taubah [9] ayat 100.

Namun layaknya level “tingkat atas,” tentu saja hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ia butuh melewati beberapa tingkatan sebelum sampai di puncak teratas. Berbagai macam ujian pembuktian dan pengorbanan harus ia jalani sebagai dasar cinta kepada Allah. Salah satunya adalah ridha mengikuti tuntunan yang telah diajarkan Rasulullah SAW dalam setiap sunnahnya.

Bukti Cinta kepada Allah
Dimana-mana yang namanya mencintai sesuatu butuh pembuktian. Sebab, ia bukanlah lipstik yang hanya menjadi penghias bibir merah saja. Dalam konteks keluarga, seorang ibu rela bersusah payah membesarkan anaknya semata demi kecintaannya kepada belahan jiwanya. Seorang anak saleh juga siap berkorban apa saja demi kecintaan kepada orangtuanya yang telah merawatnya sejak ia masih dalam kandungan ibunya.

Ayat ini menegaskan, bukti nyata mencintai Allah adalah dengan mencintai Rasulullah SAW dan ajaran yang dibawanya. Kewajiban mencintai Allah sama kedudukannya dengan mencintai rasul-Nya. Tak dikatakan mencintai Allah sekiranya ia enggan mencintai Nabi, orang yang paling dikasihi-Nya.

Oleh karena itu, ujian pertama pengakuan cinta hamba kepada Allah bisa diukur dari ketaatannya kepada Nabi-Nya. Sebab, sejatinya perintah Allah adalah perintah Rasulullah SAW sebagaimana semua larangan Allah telah tertuang dalam hal-hal yang dilarang oleh Nabi.

Layaknya orang yang bercinta, maka seorang Muslim dituntut untuk selalu dekat dengan Zat yang ia cintai. Ia akan selalu merasa tenang dan damai dengan kedekatan dan keintimannya. Sebaliknya, orang itu dijamin gelisah jika merasa ada jarak yang perlahan memisahkan mereka berdua.

Berkata Sahl bin Abdullah, tanda cinta kepada Allah yaitu mencintai al-Qur`an, tanda cinta kepada al-Qur`an adalah dengan mencintai Nabi. Sedang alamat cinta kepada Nabi dengan menghidupkan sunnah. Tanda cinta kepada Allah, al-Qur`an, Nabi, dan sunnah yaitu mencintai akhirat. Selanjutnya, tanda orang itu cinta akhirat dengan mencintai dirinya sendiri dan hal itu bisa terlihat ketika ia “membenci” dunia dengan hanya mengambil sedikit darinya sebatas perbekalan dalam menempuh perjalanan kembali ke kampung akhirat (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an).

Cinta yang jujur kepada Allah dengan sendirinya mengantar seorang Muslim untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Semakin ia mendekat kepada Rabb-nya, semakin ia rasakan limpahan karunia yang diberikan atas dirinya. Hal inilah yang tak jarang manusia luput darinya. Ia hanya mampu memaknai kenikmatan yang diberikan dalam bentuk materi dan fisik saja. Lalu lupa akan nikmat terbesar yang Allah berikan sebagai bentuk kecintaan Allah pada hamba-Nya.

Padahal, justru Allah mencintai kaum Muslimin dengan senantiasa menaungi karunia dan ampunan kepada mereka. Suatu hal yang tidak diberikan kecuali kepada orang beriman saja.

Alhasil, dengan mencintai Allah dan Rasulullah SAW serta berupaya maksimal melaksanakan syariat Islam menjadikan seorang Muslim berpeluang meraih janji yang ditawarkan oleh Allah Ta’ala. Mendapatkan kecintaan Allah serta adanya garansi ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang ia perbuat sebelumnya.

Jujur Dalam Bercinta
Orang yang jujur niscaya disenangi oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang berperilaku dusta hanya menuai kebencian dan permusuhan di tengah masyarakat. Norma kehidupan ini berlaku dalam mencintai Allah dan Nabi-Nya. Seorang Muslim yang menyatakan cinta kepada Allah dan mampu buktikan cintanya dalam kesehariannya, ia akan meraih kebahagiaan hidup dan ampunan dari Allah. Allah sendiri telah menetapkan hal itu. Tanda cinta seorang hamba kepada-Nya adalah ketika ia mencintai dan mengikuti ajaran Nabi-Nya. Sebaliknya, ketika ia tidak jujur dalam menyatakan cintanya kepada Allah, maka alih-alih menuai ganjaran pahala, tetapi perbuatannya justru hanya mengundang murka dan azab Allah.

Senada dengan hal ini, Imam Ibnu Katsir menegaskan “ayat cinta” ini menjadi hakim pengadil bagi siapa saja yang mengklaim cinta kepada Allah. Meski ia mengerjakan sekian banyak amalan perbuatan, namun jika hal itu tidak berdasar cinta dan sunnah Nabi yang ia ajarkan, maka semua perbuatan orang itu niscaya tertolak dengan sendirinya. Dalam hal ini Nabi mengingatkan, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tak ada tuntunan kami di dalamnya, maka hal itu akan tertolak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Wallahu a'lam bhis showab ..
LihatTutupKomentar