Meraih Keberkahan dalam Makanan




Ada satu doa hampir semua orang hapal, termasuk anak-anak TPA. Yaitu doa sebelum makan, “Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaabannaar.” Artinya, “Ya Allah berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau limpahkan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa neraka” (HR Ibnu As-Sani).

Inti dari doa ini adalah “memohon keberkahan” dari rezeki yang telah Allah karuniakan, sehingga kita terpelihara dari keburukan (terutama dari siksa neraka). Andai kita mampu menyelami makna berkah dan mampu mengaplikasikan dalam tataran praktis, maka akan efek yang luar biasa dalam hidup.

Konsep berkah

Kata “berkah” berasal dari kata kerja baraka. Kata ini, menurut Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang pakar bahasa Alquran, dari segi bahasa, mengacu kepada arti al-luzum (kelaziman), dan juga berarti al-tsubut (ketetapan atau keberadaan), dan tsubut al-khayr al-ilahy (adanya kebaikan Tuhan). Senada dengan Al-Asfahani, Lewis Ma’luf, juga mengartikan kata baraka dengan arti “menetap pada sesuatu tempat”. Dari arti ini, muncul istilah birkah, yaitu tempat air pada kamar mandi. Tempat air tersebut dinamakan birkah karena ia menampung air, sehingga air dapat menetap atau tertampung di dalamnya.

Dari kata al-birkah inilah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengartikan berkah sebagai “kebaikan yang banyak dan tetap” atau “tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu”. Hampir senada dengan Al-Utsaimin, Ibnul Qayyim memaknai berkah sebagai “kenikmatan dan tambahan”.

Ketika hendak makan, kita memohon agar rezeki yang kita nikmati diberkahi Allah SWT. Apa artinya? Kita makan bukan sekadar mengobati rasa lapar dan memenuhi selera semata, tapi juga untuk menjaga ketaatan kepada Allah SWT. Dengan makan itu kita berharap bisa konsisten dalam ketakwaan.

Karena itu, agar berkah, maka makanan yang kita konsumsi harus memenuhi standar-standar yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Setidaknya ada dua syarat. Yaitu halal dan thayyib (baik), serta memperhatikan adab-adab yang dicontohkan Rasul SAW.

Halal dan Thayyib Dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 168, Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Ayat ini memberi penekanan agar setiap manusia hanya mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik). Halal dapat diartikan dibolehkannya sesuatu oleh Allah SWT berdasar suatu prinsip yang sesuai dengan aturan-Nya. Sehingga makna halal dalam ayat ini menyiratkan pentingnya semangat spiritual dalam memperoleh dan mengonsumsi makanan.

Para ahli fuqaha membagi halal ini ke dalam dua bagian, yaitu halal secara dzat-nya dan halal secara perolehan. Makanan yang haram secara dzat-nya adalah bangkai (binatang yang menghembuskan nyawanya tanpa disembelih secara sah, kecuali ikan dan belalang), khamr, babi dan turunannya, binatang buas (bertaring), binatang pemakan kotoran, darah yang mengalir, dan sebagainya. (QS Al-Baqarah [2]: 173).

Ada pula jenis yang haram bukan karena dzat-nya, tapi karena diperoleh dengan cara haram, atau ditujukan untuk perbuatan haram. Haram jenis kedua ini lebih luas lagi cakupannya, lebih sulit menghindarinya, sering tersamarkan, konsekuensi yang ditimbulkannya pun lebih berat.

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa membuat makanan yang kita makanan berubah statusnya dari halal menjadi haram.

Makanan hasil riba (QS Al-Baqarah [2]: 275-276; 278-280)
Memakan harta anak yatim secara batil (QS Al-Baqarah [2]: 220; QS An-Nisaa’ [4]: 10). Memakan harta anak yatim termasuk satu dari tujuh dosa besar yang membinasakan (HR Bukhari Muslim).
Makanan yang didapatkan dengan cara batil (mengeksploitasi dan memeras serta merugikan, termasuk harta hasil KKN, merampok, mencuri) (QS An-Nisaa’ [4]: 29; QS Al-Baqarah [2]: 188; QS Al-Maidah [5]: 38)
Memalsu dan mengurangi timbangan (QS Al-Muthaffifin [83]: 1-3)
Harta hasil perbuatan tidak pantas, seperti hasil pornografi, pornoaksi, dan pelacuran (QS An-Nur [24]: 19)
Harta hasil berkhianat/curang (QS Ali Imran [3]: 161, QS An-Nisaa’ [4]: 58; QS Al-Anfaal [8]: 27)
Harta yang ditimbun (QS Al-Humazah [104]: 1-4, QS At-Taubah [9]: 34)

Bila konsep halal lebih bernuansa “ukhrawi”, maka konsep thayyib lebih bersifat “duniawi”. Dalam arti lebih menyentuh unsur dzatnya. Thayyib ini harus memenuhi standar gizi serta proporsional (baik, seimbang dan sesuai untuk kesehatan tubuh). Sebab, baik menurut A belum tentu baik menurut B. Baik bagi bayi belum tentu baik menurut orang dewasa. Baik menurut orang sakit belum tentu baik menurut orang sehat.

Sesungguhnya, kita akan mendapatkan kebaikan berlimpah bila makanan yang kita konsumsi terjamin kehalalannya, serta memenuhi standar gizi dan proporsional bagi tubuh. “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS Al-Baqarah [2]: 172)

Adab-Adab terhadap Makanan Rasulullah SAW mencontohkan serangkaian adab berkait dengan makan. Di antaranya, tidak berlebihan (israf), memulai dengan doa dan ucapan basmalah, dan mengakhirinya dengan doa pula, tidak mencela makanan, menggunakan tangan kanan, sambil duduk, serta tidak tergesa-gesa.

Selain itu, beliau pun menyebut pula beberapa keadaan yang diberkahi. Antara lain, makan bersama dan dimulai dari pinggir, serta menjilat jari (setelah makan). Rasulullah SAW bersabda, “Berkumpullah kalian menikmati makanan dan sebutlah nama Allah, kalian akan diberkahi padanya” (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah). Dalam hadits lain disabdakan pula, “Barakah itu akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir dan jangan dari tengah” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Rasul pun memerintahkan untuk menjilat jari karena kita tidak tahu mana di antara makanan itu yang mengandung berkah (HR Bukhari).

Dengan memperhatikan standar makanan yang dicontohkan Rasulullah SAW, insya Allah setiap suapan nasi atau tegukan minuman, akan membawa kebaikan bagi kita di dunia dan akhirat. Karena itu, setelah selesai makanan, kita diperintahkan untuk memuji Allah SWT. Alhamdu lillaahilladzii ath’amanaa wa saqaanaa wa ja’alanaa Muslimiin”. Artinya, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum, serta menjadikan kami Muslim” (HR Abu Daud).

Wallaahu a’lam.

***

Sumber: republika.co.id
LihatTutupKomentar