~♥♥♥ BINASA DIMAKAN OLEH RINDU ♥♥♥~

Segala puji Ibu panjatkan kehadirat

Allah ta’ala yang telah memudahkan

Ibu untuk beribadah kepada-Nya.

Shalawat serta salam Ibu sampaikan

kepada Nabi Muhammad shallallahu

‘alaihi wasallam, keluarga dan para

sahabatnya. Amin…

Wahai anakku,

Surat ini datang dari Ibumu yang

selalu dirundung sengsara… Setelah

berpikir panjang Ibu mencoba untuk

menulis dan menggoreskan pena,

sekalipun keraguan dan rasa malu

menyelimuti diri. Setiap kali menulis,

setiap kali itu pula gores tulisan

terhalang oleh tangis, dan setiap kali

menitikkan air mata setiap itu pula hati

terluka…

Wahai anakku...!

Sepanjang masa yang telah engkau

lewati, kulihat engkau telah menjadi

laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas

dan bijak! Karenanya engkau pantas

membaca tulisan ini, sekalipun

nantinya engkau remas kertas ini lalu

engkau merobeknya, sebagaimana

sebelumnya engkau telah remas hati

dan telah engkau robek pula

perasaanku.

Wahai anakku...!

25 tahun telah berlalu,

dan tahun-tahun itu merupakan tahun

kebahagiaan dalam kehidupanku.

Suatu ketika dokter datang

menyampaikan kabar tentang

kehamilanku dan semua ibu sangat

mengetahui arti kalimat tersebut.

Bercampur rasa gembira dan bahagia

dalam diri ini sebagaimana ia adalah

awal mula dari perubahan fisik dan

emosi…

Semenjak kabar gembira tersebut aku

membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri,

makan dan bernafas dalam kesulitan.

Akan tetapi itu semua tidak

mengurangi cinta dan kasih sayangku

kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama

berjalannya waktu.

Aku mengandungmu, wahai anakku!

Pada kondisi lemah di atas lemah,

bersamaan dengan itu aku begitu

gembira tatkala merasakan melihat

terjangan kakimu dan balikan

badanmu di perutku. Aku merasa puas

setiap aku menimbang diriku, karena

semakin hari semakin bertambah berat

perutku, berarti engkau sehat wal afiat

dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan

menderaku, sampailah saat itu, ketika

fajar pada malam itu, yang aku tidak

dapat tidur dan memejamkan mataku

barang sekejap pun. Aku merasakan

sakit yang tidak tertahankan dan rasa

takut yang tidak bisa dilukiskan.

Sakit itu terus berlanjut sehingga

membuatku tidak dapat lagi menangis.

Sebanyak itu pula aku melihat

kematian menari-nari di pelupuk

mataku, hingga tibalah waktunya

engkau keluar ke dunia. Engkau pun

lahir… Tangisku bercampur dengan

tangismu, air mata kebahagiaan.

Dengan semua itu, sirna semua

keletihan dan kesedihan, hilang semua

sakit dan penderitaan, bahkan kasihku

padamu semakin bertambah dengan

bertambah kuatnya sakit. Aku raih

dirimu sebelum aku meraih minuman,

aku peluk cium dirimu sebelum

meneguk satu tetes air ke

kerongkonganku.

Wahai anakku...!

telah berlalu tahun

dari usiamu, aku membawamu dengan

hatiku dan memandikanmu dengan

kedua tangan kasih sayangku. Saripati

hidupku kuberikan kepadamu. Aku

tidak tidur demi tidurmu, berletih demi

kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya, agar

aku melihat senyumanmu.

Kebahagiaanku setiap saat adalah

celotehmu dalam meminta sesuatu,

agar aku berbuat sesuatu

untukmu…itulah kebahagiaanku!

Kemudian, berlalulah waktu. Hari

berganti hari, bulan berganti bulan dan

tahun berganti tahun. Selama itu pula

aku setia menjadi pelayanmu yang

tidak pernah lalai, menjadi dayangmu

yang tidak pernah berhenti, dan

menjadi pekerjamu yang tidak pernah

mengenal lelah serta mendo’akan

selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selalu memperhatikan dirimu hari

demi hari hingga engkau menjadi

dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu

yang kekar, kumis dan jambang tipis

yang telah menghiasi wajahmu, telah

menambah ketampananmu. Tatkala itu

aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan

demi mencari pasangan hidupmu.

Semakin dekat hari perkawinanmu,

semakin dekat pula hari kepergianmu.

saat itu pula hatiku mulai serasa

teriris-iris, air mataku mengalir, entah

apa rasanya hati ini. Bahagia telah

bercampur dengan duka, tangis telah

bercampur pula dengan tawa. Bahagia

karena engkau mendapatkan pasangan

dan sedih karena engkau pelipur hatiku

akan berpisah denganku.

Waktu berlalu seakan-akan aku

menyeretnya dengan berat. Kiranya

setelah perkawinan itu aku tidak lagi

mengenal dirimu, senyummu yang

selama ini menjadi pelipur duka dan

kesedihan, sekarang telah sirna

bagaikan matahari yang ditutupi oleh

kegelapan malam. Tawamu yang

selama ini kujadikan buluh perindu,

sekarang telah tenggelam seperti batu

yang dijatuhkan ke dalam kolam yang

hening, dengan dedaunan yang

berguguran. Aku benar-benar tidak

mengenalmu lagi karena engkau telah

melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati

hanya untuk ingin melihat rupamu.

Detik demi detik kuhitung demi

mendengarkan suaramu. Akan tetapi

penantian kurasakan sangat panjang.

Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk

melihat dan menanti kedatanganmu.

Setiap kali berderit pintu aku

manyangka bahwa engkaulah orang

yang datang itu. Setiap kali telepon

berdering aku merasa bahwa

engkaulah yang menelepon. Setiap

suara kendaraan yang lewat aku

merasa bahwa engkaulah yang datang.

Akan tetapi, semua itu tidak ada.

Penantianku sia-sia dan harapanku

hancur berkeping, yang ada hanya

keputusasaan. Yang tersisa hanyalah

kesedihan dari semua keletihan yang

selama ini kurasakan. Sambil

menangisi diri dan nasib yang memang

telah ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku… ibumu ini tidaklah meminta

banyak, dan tidaklah menagih

kepadamu yang bukan-bukan. Yang

Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai

sahabat dalam kehidupanmu.

Jadikanlah ibumu yang malang ini

sebagai pembantu di rumahmu, agar

bisa juga aku menatap wajahmu, agar

Ibu teringat pula dengan hari-hari

bahagia masa kecilmu.

Dan Ibu memohon kepadamu, Nak!

Janganlah engkau memasang jerat

permusuhan denganku, jangan engkau

buang wajahmu ketika Ibu hendak

memandang wajahmu!!

Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah

rumah ibumu, salah satu tempat

persinggahanmu, agar engkau dapat

sekali-kali singgah ke sana sekalipun

hanya satu detik. Jangan jadikan ia

sebagai tempat sampah yang tidak

pernah engkau kunjungi, atau

sekiranya terpaksa engkau datangi

sambil engkau tutup hidungmu dan

engkaupun berlalu pergi.

Anakku, telah bungkuk pula

punggungku. Bergemetar tanganku,

karena badanku telah dimakan oleh

usia dan digerogoti oleh penyakit…

Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun

seharusnya dibopong, sekalipun begitu

cintaku kepadamu masih seperti dulu…

Masih seperti lautan yang tidak pernah

kering. Masih seperti angin yang tidak

pernah berhenti.

Sekiranya engakau dimuliakan satu

hari saja oleh seseorang, niscaya

engkau akan balas kebaikannya

dengan kebaikan setimpal. Sedangkan

kepada ibumu… Mana balas budimu,

nak!?

Mana balasan baikmu! Bukankah air

susu seharusnya dibalas dengan air

susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak!

Susu yang Ibu berikan engkau balas

dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala

telah berfirman, “Bukankah balasan

kebaikan kecuali dengan kebaikan

pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai

begitu keraskah hatimu, dan sudah

begitu jauhkah dirimu?! Setelah

berlalunya hari dan berselangnya

waktu?!

Wahai anakku...!

setiap kali aku mendengar

bahwa engkau bahagia

dengan hidupmu, setiap itu pula

bertambah kebahagiaanku. Bagaimana

tidak, engkau adalah buah dari kedua

tanganku, engkaulah hasil dari

keletihanku. Engkaulah laba dari

semua usahaku! Kiranya dosa apa

yang telah kuperbuat sehingga engkau

jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!

Pernahkah aku berbuat khilaf dalam

salah satu waktu selama bergaul

denganmu, atau pernahkah aku

berbuat lalai dalam melayanimu?

Terus, jika tidak demikian, sulitkah

bagimu menjadikan statusku sebagai

budak dan pembantu yang paling hina

dari sekian banyak pembantumu .

Semua mereka telah mendapatkan

upahnya!? Mana upah yang layak

untukku wahai anakku!

Dapatkah engkau berikan sedikit

perlindungan kepadaku di bawah

naungan kebesaranmu? Dapatkah

engkau menganugerahkan sedikit

kasih sayangmu demi mengobati derita

orang tua yang malang ini? Sedangkan

Allah ta’ala mencintai orang yang

berbuat baik.

Wahai anakku...!

Aku hanya ingin

melihat wajahmu, dan aku tidak

menginginkan yang lain.

Wahai anakku! Hatiku teriris, air

mataku mengalir, sedangkan engkau

sehat wal afiat. Orang-orang sering

mengatakan bahwa engkau seorang

laki-laki supel, dermawan, dan

berbudi.

Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu

terhadap seorang wanita tua yang

lemah, tidak terenyuhkah jiwamu

melihat orang tua yang telah renta ini,

ia binasa dimakan oleh rindu,

berselimutkan kesedihan dan

berpakaian kedukaan!? Bukan karena

apa-apa?! Akan tetapi hanya karena

engkau telah berhasil mengalirkan air

matanya… Hanya karena engkau telah

membalasnya dengan luka di hatinya…

hanya karena engkau telah pandai

menikam dirinya dengan belati

durhakamu tepat menghujam

jantungnya… hanya karena engkau

telah berhasil pula memutuskan tali

silaturrahim?!

Wahai anakku...!

ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka

titilah jembatan itu menujunya,

lewatilah jalannya dengan senyuman

yang manis, pemaafan dan balas budi

yang baik. Semoga aku bertemu

denganmu di sana dengan kasih

sayang Allah ta’ala, sebagaimana

dalam hadits: “Orang tua adalah pintu

surga yang di tengah. Sekiranya

engkau mau, maka sia-siakanlah pintu

itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)

Anakku.. Aku sangat mengenalmu, tahu

sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau

telah beranjak dewasa saat itu pula

tamak dan labamu kepada pahala dan

surga begitu tinggi. Engkau selalu

bercerita tentang keutamaan shalat

berjamaah dan shaf pertama. Engkau

selalu berniat untuk berinfak dan

bersedekah.

Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu

hadits yang terlupakan olehmu! Satu

keutamaan besar yang terlalaikan

olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu

berkata: Aku bertanya kepada

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Wahai Rasulullah, amal apa yang

paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat

pada waktunya”, aku berkata:

“Kemudian apa, wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda: “Berbakti kepada

kedua orang tua”, dan aku berkata:

“Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau

menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu

beliau diam. Sekiranya aku bertanya

lagi, niscaya beliau akan

menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)

Wahai anakku...!

Ini aku, pahalamu,

tanpa engkau bersusah payah untuk

memerdekakan budak atau berletih

dalam berinfak. Pernahkah engkau

mendengar cerita seorang ayah yang

telah meninggalkan keluarga dan

anak-anaknya dan berangkat jauh dari

negerinya untuk mencari tambang

emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam

perantauan, kiranya yang ia bawa

pulang hanya tangan hampa dan

kegagalan. Dia telah gagal dalam

usahanya. Setibanya di rumah, orang

tersebut tidak lagi melihat gubuk

reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah

sebuah perusahaan tambang emas

yang besar. Berletih mencari emas di

negeri orang kiranya, di sebelah gubuk

reotnya orang mendirikan tambang

emas.Begitulah perumpamaanmu dengan

kebaikan. Engkau berletih mencari

pahala, engkau telah beramal banyak,

tapi engkau telah lupa bahwa di

dekatmu ada pahala yang maha besar.

Di sampingmu ada orang yang dapat

menghalangi atau mempercepat

amalmu. Bukankah ridhoku adalah

keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku

adalah kemurkaan-Nya?

Anakku, yang aku cemaskan

terhadapmu, yang aku takutkan bahwa

jangan-jangan engkaulah yang

dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam dalam sabdanya: “Merugilah

seseorang, merugilah seseorang,

merugilah seseorang”, dikatakan,

“Siapa dia,wahai Rasulullah?,

Rasulullah menjawab, “Orang yang

mendapatkan kedua ayah ibunya

ketika tua, dan tidak memasukkannya

ke surga”. (HR. Muslim)

Anakku… Aku tidak akan angkat

keluhan ini ke langit dan aku tidak

adukan duka ini kepada Allah, karena

sekiranya keluhan ini telah

membumbung menembus awan,

melewati pintu-pintu langit, maka akan

menimpamu kebinasaan dan

kesengsaraan yang tidak ada obatnya

dan tidak ada dokter yang dapat

menyembuhkannya. Aku tidak akan

melakukannya, Nak! Bagaimana aku

akan melakukannya sedangkan engkau

adalah jantung hatiku… Bagaimana

ibumu ini kuat menengadahkan

tangannya ke langit sedangkan engkau

adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu

tega melihatmu merana terkena do’a

mustajab, padahal engkau bagiku

adalah kebahagiaan hidupku.

Bangunlah Nak!

Uban sudah mulai merambat di

kepalamu. Akan berlalu masa hingga

engkau akan menjadi tua pula, dan

aljaza’ min jinsil amal… “Engkau akan

memetik sesuai dengan apa yang

engkau tanam…” Aku tidak ingin

engkau nantinya menulis surat yang

sama kepada anak-anakmu, engkau

tulis dengan air matamu sebagaimana

aku menulisnya dengan air mata itu

pula kepadamu.

Wahai anakku...!

bertaqwalah kepada

Allah pada ibumu, peganglah kakinya!!

Sesungguhnya surga di kakinya.

Basuhlah air matanya, balurlah

kesedihannya, kencangkan tulang

ringkihnya, dan kokohkan badannya

yang telah lapuk. Anakku… Setelah

engkau membaca surat ini,terserah

padamu! Apakah engkau sadar dan

akan kembali atau engkau ingin

merobeknya.

Wassalam,

Ibumu

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Kutitipkan Surat Ini Untukmu

karya Al-Fadhil Al-Ustadz Armen Halim Naro, Lc.
LihatTutupKomentar