Hukum Ghibah...
Berdasarkan firman ALLAH;
Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yg lain.
Sukakah salah seorang diantara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati?
maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya ALLAH Maha penerima taubat
lagi Maha penyayang. (Al-Hujuraat: 12).
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu? para sahabat menjawab, “ALLAH dan rasulNya yang lebih tahu”. Maka Rasulullah bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dgn sesuatu yg ia benci”, kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana jika yg aku katakan memang ada padanya? Rasulullah menegaskan, “Jika yg engkau katakan memang ada pada dirinya, maka itulah ghibah. Jika tidak, maka engkau telah berbuat dusta padanya”. (HR.Muslim 2589).
BAHAYA GHIBAH:
1. Mendapat siksa atau adzab yg sangat pedih.
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tatkala aku dinaikkan saat Isra’ Mi’raj, aku melewati sekelompok orang yang kuku-kuku mereka dari tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada-dada mereka dengan kuku tersebut. Aku pun bertanya kepada malaikat Jibril tentang perihal mereka. Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan orang lain. (HR.Abu Dawud 4870 )
2. Dimasukkan radghatal Khabal kedalam mulutnya, sampai keluar dari mulutnya apa-apa yg pernah dia ucapkan kepada saudaranya yg tdk benar.
Hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
Brgsiapa yg membicarakan sesuatu yg tdk ada pada diri seorang Mu’min,maka akan dimasukkan kedalam mulut mereka Radghatal Khabal (lubang yang penuh dengan DARAH dan NANAH yg mengalir dari penghuni-penghuni neraka), sehingga dia dibersihkan (dari hukuman) dosa-dosa yg diucapkannya (keluar dari mulutnya apa yang pernah dia ucapakan)/sampai dia BERTAUBAT dan MINTA HALAL ”.
(HR. Abu Dawud 3594 )
--------------------------
Barang siapa yang menutup aib seorang muslim,
Allah akan menutup aib dirinya pada hari kiamat.
(HR. Al- Bukhari no.2442 )
--------------------------
Kondisi diperbolehkannya ghibah
Dr. Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996: III/ 52) mengungkapkan ada enam hal, di mana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:
1. Tadzalum.
Yaitu orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim, ulama dan penguasa agar dapat mengatasi problematika yang sedang dialaminya. Dalam pengaduan tersebut tentu ia akan menceritakan keburukan orang yang menganiaya dirinya. Dan hal seperti ini diperbolehkan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
لاَ يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا*
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran & mengembalikan orang yang maksiat menjadi taat kepada Allah SWT, kepada orang yang dirasa mampu untuk melakukannya. Seperti ulama, ustadz atau psikolog. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. (HR. Muslim).
Sementara meminta bantuan kepada orang yang lebih mampu, masuk dalam kategori merubah kemungkaran dengan lisan.
3. Meminta fatwa.
Seperti seseorang yang meminta fatwa kepada ulama dan ustadz, bahwa saudaraku misalnya menzhalimiku seperti ini, maka bagaimana hukumnya bagi diriku maupun bagi saudaraku tersebut.
Dalam salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan) mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW, suamiku adalah seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari simpanannya dan dia tidak mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa? Rasulullah SAW menjawab, ambillah darinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca; ma’ruf)” (HR. Bukhari)
4. Peringatan terhadap keburukan atau bahaya.
Seperti ketika Fatimah binti Qais RA datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat miskin, sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul wanita).” (HR. Muslim)
5. Terhadap orang yang menampakkan kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer, berzina, judi, mencuri, dan membunuh. Terhadap orang yang seperti ini kita boleh ghibah. Apalagi terhadap orang yang menampakkan permusuhannya kepada agama Islam dan kaum muslimin.
6. Untuk pengenalan.
Adakalanya seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj (pincang), Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan nama tersebut. Jika disebut nama lain bahkan banyak perawi lainnya yang kurang mengenalnya. Meskipun demikian, tetap menggunakan nama aslinya adalah lebih baik. Bahkan jika dengan namanya tersebut dia telah dikenal, maka tidak boleh menggunakan julukan yang terkesan negatif.Wallahu'alaamu bishshowab