*** JASAD tanpa RUH ***



“... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain)...” (Al-‘Ankabut [29]: 45)

Banyak orang yang menunaikan shalat hanya sebatas kebiasaan belaka, tanpa esensi. Perkara-perkara
dunia acap kali menyesaki alam pikirannya. Shalat seperti ini tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang.

Kekhusyu’an merupakan etika teragung dalam shalat sekaligus merupakan substansi dan ruhnya.

Bila khusyu’ dapat direalisasikan, maka akan mempengaruhi pelakunya kepada kebajikan, mencegah perbuatan mungkar, dan konsisten di atas manhaj Allah.

Ketika usai menunaikan shalat, dia tetap dipengaruhi oleh ibadah ini. Hal ini terus berlangsung hingga bertemu dengan waktu shalat berikutnya.

Namun hanya sedikit orang yang perilaku dan akhlak kesehariannya telah dipengaruhi oleh shalat.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata, ”Shalat tanpa kekhusyu’an dan kehadiran hati sama dengan jasad tanpa ruh.”

Di dalam shalat ia membagi manusia dalam beberapa tingkatan.

PERTAMA; Orang yang lalai dengan shalatnya. Yakni orang yang shalat dengan wudhu’ yang tidak sempurna, shalat tidak pada waktunya, dan tidak menyempurnakan rukun-rukunnya.

KEDUA; Orang yang semata-mata menjaga waktu, menjaga wudhu’ dan rukun-rukunnya. Namun dia tidak berusaha membawa jiwanya melawan bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang datang.

KETIGA; Orang seperti dalam tingkatan ke dua, tetapi dia juga melawan bisikan-bisikan setan.

KEEMPAT; Semangatnya tercurah untuk mendirikan shalat. Hatinya tenggelam dalam perkara shalat, dan dia tidak menyia-nyiakan sedikit pun shalatnya.

KELIMA; Orang yang mencapai seperti tahap ke empat dan mencapai tingkatan ikhsan. Hatinya dipenuhi kecintaan kepada Allah.

Termasuk tingkatan manakah kita? Hanya hati yang jujur bisa menjawab.

Khusyu’ bukanlah sesuatu yang instan. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang sulit meraih kekusyu’an. Namun pangkal dari kesulitan itu adalah cinta dunia!

Para tabi’in dan ulama salaf menjadikan kekhusyu’an dan kehadiran hati sebagai ruh dan saripati dari shalat itu sendiri. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah Swt.

Ketika Ali Zainal Abidin berwudhu’, maka merah padamlah mukanya. Ketika ditanya mengapa demikian, ia menjawab, “Tahukah kamu siapakah yang akan aku temui?”

Shilah bin Asyim larut dalam shalatnya yang khusyu’. Ia sama sekali tidak terusik oleh kehadiran seekor harimau yang mengancam jiwanya.

Dikatakan kepada Khalaf bin Ayyub, “Bagaimana kamu dapat bersabar dari gangguan lalat?” Ia menjawab, “Aku sedang berada dihadapan Tuhanku, apakah aku patut bergerak gara-gara lalat?”

Dikatakan kepada Amir bin Abdillah, “Apakah kamu memikirkan dunia ketika shalat?”
Ia menjawab, “Tidak dalam shalat, dan tidak pula selainnya. Apakah ada sesuatu yang lebih aku senangi dari shalat, kemudian aku mengingatnya ketika shalat?”
LihatTutupKomentar